Monthly Archives: May 2021

Terjemah Sullamut Taufiq (Sullam Al Taufiq)

Nama kitab: Terjemah Sullamut Taufiq (Sullam Al Taufiq)

Judul asal: Sullamut Taufiq ila Mahabbatillah alat Tahqiq

Nama asal kitab dalam tulisan Arab:

 سُلَّمُ التَّوْفِيق إلى مَحَبَّةِ اللهِ على التَّحْقِيق مُخْتَصَرٌ فِيما يَجِبُ على كُلِّ مُسْلِمٍ أنْ يَعْلَمَهُ مِنْ أُصُولِ الدِّينِ وفُرُوعِهِ

Penulis: Abdullah bin Husain bin Tohir Ba Alawi Al-Hadhromi Al-Syafi’i (1191-1272 H/-1777 M)

Penerjemah:

Bidang studi: Aqidah, Tasawuf dan Fiqih

Download versi PDF:

Terjemah Kitab Sullamut Taufiq.

Matan Sullamut Taufiq versi Arab

Pengantar Penulis

مُقَدِّمَةُ المُؤَلِّف

الحَمْدُ للهِ رَبِّ العالَمِينَ، وأشْهَدُ أنْ لا إلٰهَ إلّا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهْ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ ورَسُولُهُ، صَلَّى اللهُ عليه وسَلَّمَ وعلى آلِهِ وصَحْبِهِ والتّابِعِين.

أمّا بَعْدُ، فَهٰذا جُزْءٌ لَطِيفٌ يَسَّرَهُ اللهُ تَعالَى، فِيما يَجِبُ تَعَلُّمُهُ، وتَعْلِيمُهُ، والعَمَلُ بِهِ لِلخاصِّ والعامِّ، والواجِبُ ما وَعَدَ اللهُ فاعِلَهُ بِالثَّوابِ، وتَوَعَّدَ تارِكَهُ بِالعِقابِ، وسَمَّيْتُهُ سُلَّمَ التّوْفِيق إلى مَحَبَّةِ اللهِ على التَّحْقِيق، أسأَلُ اللهَ الكَرِيمَ أنْ يَجْعَلَ ذٰلك مِنْهُولَهُ وفِيهِ وإلَيْه، ومُوجِبًا لِلقُرْبِ والزُّلْفَى لَدَيْه، وأنْ يُوَفِّقَ مَنْ وَقَفَ عليه لِلْعَمَلِ بِمُقْتَضاه، ثُمَّ التَّرَقِّي بِالتَّوَدُّدِ بِالنَّوافِلِ لِيَحُوزَ حُبَّهُ ووَلاه.

Pendahuluan

Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang.

Segala puji hanyalah milik Allah yang menjadi tuhan semesta alam.

Dan aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak untuk disembah dengan sebenar-benarnya kecuali hanya Allah yang maha tunggal yang tiada sekutu baginya.

Dan aku bersaksi bahwa nabi Muhammad adalah hamba dan utusan Allah. Semoga sholawat dan salam Allah senantiasa tercurahkan atas beliau, seluruh keluarga, sahabat, dan para pengikut mereka.

Selanjutnya, ini adalah sebuah kitab kecil (semoga Allah menjadikannya mudah untuk difaham dan diamalkan) yang menjelaskan tentang hal-hal yang wajib untuk dipelajari dan diajarkan serta diamalkan oleh orang yang berilmu maupun orang awam.

Wajib adalah sesuatu yang telah dijanjikan oleh Allah bagi orang yang mengerjakannya dengan mendapatkan pahala dan telah diancam oleh Allah bagi orang yang meninggalkannya dengan mendapatkan siksa.

Dan aku namai kitab ini dengan nama “Tangga pertolongan untuk menggapai cinta Allah dengan sebenar-benarnya.”

Aku memohon kepada Allah yang maha dermawan agar nenjadikan kitab ini semata-mata anugrah dariNya, murni karenaNya, cinta padaNya dan menyampaikan kepadaNya.

Dan sebagai pendekat di sisiNya

Dan semoga Allah memberikan pertolongan pada orang yang mempelajari kitab ini untuk bisa mengamalkan isinya (mengerjakan yang wajib dan meninggalkan yang haram).

Kemudian terus meningkat dengan senang mengamalkan kesunahan-kesunahan supaya ia bisa mempeoleh cinta dan pertolongan Allah.

Bab Pokok-pokok Agama

بابُ أُصُولِ الدِّينِ

فَصْلٌ: في الواجِبِ على كُلِّ مُكَلَّفٍ

يَجِبُ على كافَّةِ المُكَلَّفِينَ الدُّخُولُ في دِينِ الإسْلام، والثُّبُوتُ فيه على الدَّوام، والْتِزامُ ما لَزِمَ عليه مِنَ الأحْكام.

فَصْلٌ: في مَعْنَى الشَّهادَتَيْنِ

فَمِمّا يَجِبُ عِلْمُهُ واعْتِقادُهُ مُطْلَقًا، والنُّطْقُ به في الحالِ إنْ كانَ كافِرًا، وإلّا ففي الصَّلاةِ، الشَّهادَتانِ وهُما: “أشْهَدُ أنْ لا إلٰهَ إلّا اللهُ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ”، صلى الله عليه وسلم.

مَعْنَى الشَّهادَةِ الأُولَى: ومَعْنَى أشْهَدُ أنْ لا إلٰهَ إلّا اللهُ: أنْ تَعْلَمَ وتَعْتَقِدَ وتُؤْمِنَ وتُصَدِّقَ أنْ لا مَعْبُودَ بِحَقٍّ في الوُجُودِ إلّا اللهُ، الواحِدُ، الأحَدُ، الأوَّلُ، القَدِيمُ، الحَيُّ، القَيُّومُ، الباقِي، الدائِمُ، الخالِقُ، الرّازِقُ، العالِمُ، القَدِيرُ، الفَعّالُ لما يُرِيدُ، ما شاءَ اللهُ كانَ وما لم يَشَأْ لم يَكُنْ، ولا حَوْلَ ولا قُوَّةَ إلّا بِاللهِ العَلِيِّ العَظِيمِ، مَوْصُوفٌ بِكُلِّ كَمالٍ، مُنَزَّهٌ عن كُلِّ نَقْصٍ، ﴿ لَيْسَ كَمثْلِهِ شَيْءٌ وهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ ﴾، فهو القَدِيمُ وما سِواهُ حادِثٌ، وهو الخالِقُ وما سِواهُ مَخْلُوقٌ، وكَلامُهُ قَدِيمٌ [أي بِلا ابْتِداءٍ] كَسائِرِ صِفاتِهِ، لِأنَّهُ سُبْحانَهُ مُبايِنٌ لِجَمِيعِ المَخْلُوقاتِ في الذّاتِ والصِّفاتِ والأفْعال، [ومَهْما تَصَوَّرْتَ بِبالِك، فَاللهُ تَعالَى لا يُشْبِهُ ذلِك]، سُبْحانَهُ وتَعالَى عَمّا يَقُولُ الظّالِمُونَ عُلُوًّا كَبِيرًا.

مَعْنَى الشَّهادَةِ الثّانِيَةِ: ومَعْنَى أشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ: أنْ تَعْلَمَ وتَعْتَقِدَ وتُصَدِّقَ وتُؤْمِنَ أنَّ سَيِّدَنا ونَبِيَّنا مُحَمَّدَ بْنَ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ المُطَّلِبِ بْنِ هاشِمِ بْنِ عَبْدِ مَنافٍ القُرَشِيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسَلَّمَ عَبْدُ اللهِ ورَسُولُهُ إلى جَمِيعِ الخَلْقِ؛ وُلِدَ بِمَكَّةَ، وبُعِثَ بِها، وهاجَرَ إلى المَدِينَةِ، ودُفِنَ فيها، وأنَّهُ صَلَّى اللهُ عليه وسَلَّمَ صادِقٌ في جَمِيعِ ما أخْبَرَ بِهِ .

Pasal Yang Wajib bagi Setiap Muslim Mukallaf

Setiap orang yang mukallaf (baligh dan berakal) wajib masuk kedalam agama islam dan menetap selama-lamanya serta menjalankan semua hukum-hukumnya.

Pasal Makna Dua Kalimat Syahadat

Diantara perkara yang wajib untuk diketahui dan diyakininya adalah dua kalimat syahadat yang wajib ia ucapkan disaat itu juga apabila ia kafir dan didalam sholat apabila ia muslim.

Dua kalimat syahadat itu adalah “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak untuk disembah dengan sebenar-benarnya kecuali hanya Allah dan bahwasanya nabi Muhammad SAW adalah utusanNya.”

Adapun ma’na أشهد ان لا اله الا الله adalah engkau mengetahui, meyakini, mempercayai dan membenarkan bahwasanya tidak ada tuhan yang berhak untuk disembah dengan sebenar-benarnya didalam wujud kecuali hanya Allah.

Yang maha esa, yang maha tunggal, yang maha pertama, yang maha terdahulu, yang maha hidup, yang maha kekal, yang maha abadi, yang maha pencipta, yang maha memberi rizqi, yang maha mengetahui, yang maha kuasa, yang maha memperbuat pada sesuatu yang dikehendaki.

Apapun yang diinginkanNya wujud, maka akan terwujud. Dan apapun yang tidak diinginkanNya wujud, maka tidak akan terwujud. Dan tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolonganNya yang maha tinggi lagi maha agung.

Dia bersifat dengan semua sifat kesempurnaan dan disucikan dari semua kekurangan dan tidak ada sesuatu apapun yang menyamaiNya dan Dia maha mendengar lagi maha melihat.

Dia adalah terdahulu dan selainNya adalah baharu. Dan Dia adalah yang menciptakan dan selainNya adalah yang diciptakan.

KalamNya adalah terdahulu sebagaimana sifat-sifatNya karena sesungguhnya Dia (maha suci Dia) berbeda dengan seluruh makhluk didalam dzat, sifat dan perbuatan.

Maha suci dan maha tinggi Dia dari apa-apa yang diucapkan oleh orang-orang yang zholim dengan ketinggian yang besar.

Dan adapun ma’na أشهد أن محمدا رسول الله adalah engkau mengetahui, meyakini, mempercayai dan membenarkan bahwasanya junjungan dan nabi kita Muhammad SAW bin Abdullah bin Abdul muththolib bin Hasyim bin Abdu manaf yang bersuku quraisy adalah hamba dan utusan Allah kepada seluruh makhluk.

Beliau dilahirkan dan diutus di mekah dan beliau hijrah ke madinah dan dikuburkan disana.

Beliau SAW adalah benar di dalam seluruh kabar yang telah disampaikannya.

Menuju Desa Damai dan Setara, Desa Gunungrejo Deklarasikan Desa Damai

Malang– Cuaca cerah pada Minggu pagi, (31/05) menyelimuti wahana wisata pertanian Kedok Ombo di Desa Gunungrejo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Hiruk pikuk pengunjung bercampur dengan masyarakat Desa Gunungrejo yang mengikuti kegiatan Deklarasi Desa Damai pada pagi itu. Deklarasi Desa Damai Gunungrejo tersebut terlaksana berkat kerjasama dengan Wahid Foundation yang berkolaborasi dengan UN Women dalam program Women Participation for Inclusive Society (WISE) yang memiliki tujuan besar mendorong pemberdayaan perempuan dalam upaya membangun masyarakat yang damai dan mandiri.

Sejumlah pihak juga terlihat hadir dalam Deklarasi tersebut, di antaranya;, Muhammad Zaim Al-Khalish Nasution (Direktur Regional Multilateral BNPT), Mujtaba Hamdi, Direktur Eksekutif Wahid Foundation, Asisten Bupati Kabupaten Malang, Hari Krisparyitno, Camat Singosari, Samsul Hadi, Kepala Desa Gunungrejo, dan sejumlah tokoh dari berbagai elemen masyarakat setempat termasuk juga seluruh anggota Kelompok Kerja (Pokja) Desa Damai Gunungrejo dan sejumlah Pokja lain di Jawa Timur yang telah lebih dulu mendeklarasikan diri menjadi Desa Damai seperti Desa Candirenggo dan Sidomulyo, termasuk Suhendar SP, Kepala Kelurahan Durenseribu Kota Depok yang diundang secara khusus mengikuti Deklarasi.

Dalam sambutan pengantar, Direktur Ekstekutif Wahid Foundation, Mujtaba Hamdi menjelaskan Program Desa Damai. Menurut Pria yang akrab disapa Mujtaba tersebut, Program Desa Damai ini sudah dilaksanakan sejak tiga tahun terakhir di tiga provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Program ini digagas Wahid Foundation berkolaborasi dengan UN Women untuk menguatkan resiliensi masyarakat dari paham ekstremis yang bisa memprovokasi terjadinya konflik di tengah masyarakat melalui integrasi pendekatan pencegahan konflik dan pembangunan ekonomi dengan menggandeng kelompok perempuan dengan dibentuknya Kelompok Kerja (Pokja) Desa Damai.

“Program Desa Damai yang diinisiasi WF dan bekerjasama dengan UN Women dalam program Women Participation for Inclusive Society (WISE) yang bertujuan mendorong perlibatan perempuan dalam upaya membangun masyarakat yang damai dan mandiri. Sebagai lembaga yang fokus pada perjuangan membangun toleransi dan perdamaian di Indonesia, Wahid Foundation merasa perlu untuk menyebarkan nilai-nilai perdamaian melalui penguatan kohesi sosial dengan menggandeng perempuan pedesaan, salah satunya di Desa Gunungsari.” Tutur Taba dalam sambutannya. 

Program ini adalah program yang digagas WF bekerjasama dengan UN Women untuk mencoba meningkatkan ketahanan masyarakat, harapannya melalui program Desa Damai berbasis komunitas terbangun karakter masyarakat yang bisa hidup rukun, damai, dan setara di tengah perbedaan.

Turut Hadir memberikan arahan Muhammad Zaim Al-khalish Nasution, Direktur Kerjasama Regional dan Multilateral Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Pihaknya menegaskan bahwa pentingnya membangun kesadaran berbasis komunitas di Desa untuk bersama – sama memperkuat persatuan dan perdamaian melalui program Desa Damai. Upaya ini adalah bentuk nyata mencegah adanya intoleransi dan ekstremisme kekerasan yang saat ini menjadi tantangan nyata di Indonesia. 

“BNPT bersama beberapa kementerian dan lembaga saat ini sedang mempersiapkan pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstremisme Kekerasan (RAN PE) yang baru saja disahkan melalui Pepres No. 7 Tahun 2021. Desa Damai ini tentu sejalan dengan apa yang akan kita lakukan melalui RAN PE.” tegas Zaim dalam sambutannya. 

Kegiatan yang  berjalan dengan penerapan Protokol Kesehatan ketat tersebut dibuka dengan pengenalan Wahana Wisata Kedok Ombo yang menjadi pusat wisata dan edukasi pertanian bagi masyarakat Desa Gunungrejo dan sekitarnya di Kabupaten Malang oleh Samsul Hadi selaku Kepala Desa Gunungrejo.

Samsul yang terlihat begitu antusias menyambut tamu undangan dalam kegiatan Deklarasi Desa Damai menilai bahwa Deklarasi tersebut menjadi media untuk mewujudkan dan memperkenalkan desanya untuk menjadi desa yang damai dan ramah bagi semua kalangan tanpa membeda-bedakan gender atau kelompok lainnya. Melalui pengembangan Wahana Wisata Pertanian salah satunya, dirinya mengusung perdamaian melalui pendekatan ekonomi dan pusat pendidikan pertanian yang selama ini menjadi salah satu penghasilan utama masyarakat Desa Gunungrejo, selain tentunya ada sumber pengasilan lain seperti home industry seperti pembuatan kue pia, kripik singkong, sandal bakiak, keset, dan shuttlecock.

“kami berterima kasih kepada semua pihak atas terlaksananya Deklarasi Desa Damai ini. Kami mengiginkan desa kami tercinta menjadi desa damai dan setara bagi semua kalangan dengan upaya-upaya yang kami lakukan salah satunya melalui pendekatan ekonomi dalam pengembangan desa wisata pertanian ini,” ungkapnya Ketika membuka kegiatan Deklarasi Desa Damai tersebut.

Program Desa Damai tersebut juga memberikan sumbangsih bagi pembangunan, yaitu realisasi program yang sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 yang baru disahkan pada Januari lalu tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Penanggulangan Ektremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) dan Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RAN P3A-KS).

Sementara itu, Jamsheed Kazi, UN Women Representative and Liaison to ASEAN sebagai perwakilan dari UN Women turut memberikan sambutan melalui video  dalam kegiatan Deklarasi tersebut. Menurutnya peran aktif perempuan dalam pencegahan konflik sangatlah penting.

“Tanpa partisipasi aktif perempuan dan peningkatan kapasitas dalam menangani konflik di tingkat komunitas, kohesi sosial secara luas tidak dapat dicapai. Di bawah program Desa Damai, UN Women dan Wahid Foundation mendorong pelibatan perempuan sebagai agen perubahan dalam memperkuat toleransi dan solidaritas di komunitas. Akan sangat bermanfaat apabila inisiatif yang melibatkan kepemimpinan perempuan dan pendekatan berbasis komunitas dalam mendorong komunitas yang tangguh dan perdamaian berkelanjutan di Indonesia ini, direplikasi di tingkat regional.” ungkapnya.

Melalui asistennya, Bupati Kabupaten Malang yang berhalangan hadir juga memberikan sambutan dan kesannya terhadap Program Desa Damai. Menurutnya, Program Desa Damai perlu dikembangkan selain untuk mencegah dan meredam segala aksi, sikap, dan tindakan yang intoleran maupun ekstrem, juga sebagai upaya untuk mendorong partisipasi perempuan di tingkat lokal, sekaligus untuk memperkuat perspektif gender yang dapat menempatkan posisi perempuan sebagai bagian dari kerangka penting dalam pembangunan berkelanjutan.

Menjelang siang, Deklarasi Desa Damai Gunungrejo tersebut diresmikan dengan ditandai pelepasan burung merpati dan penandatangan prasasti Desa Damai oleh Bupati Kabupaten Malang, Direktur Eksekutif Wahid Foundation, Camat Singosari, Kepala Desa Gunungrejo, dan Pokja Desa Gunugrejo.

Terjemah Fathul Muin


Nama kitab: Terjemah Fathul Muin

Judul asal: Fathul Muin bi Syarhi Qurratil Ain bi Muhimmatid Din ( فتح المعين بشرح قرة العين بمهمات الدين)

Penulis: Ahmad bin Abdul Aziz bin Zainuddin bin Ali bin Ahmad Al-Mabari Al-Malibari Al-Hindi (أحمد بن عبد العزيز بن زين الدين بن علي بن أحمد المعبري المليباري الهندي)

Penerjemah: Abul Hiyadh

Bidang studi: Fikih madzhab Syafi’i

PROFIL KITAB FATHUL MUIN

Kitab Fathul Mu’in merupakan kitab penjelas atau kitab syarah terhadap kitab yang masih merupakan karya dari Syeikh Zainuddin Abdul Aziz , yakni kitab Qurratul ‘Ain Fii Muhimmati Dien. Berdasarkan penuturan Syeikh Zainuddin dalam khutbah kitabnya, beliau menyusun kitab ini semata-mata mengaharap ridlo Allah demi kemanfaatan orang banyak. Dengan keinginan semoga kitab ini menjadi sebab beliau mendaptkan tempat kembali yang layak diakhirat kelak, yakni surga firdaus-Nya.

Selain itu, beliau juga menuturkan bahwasanya kitab ini merupakan kitab yang isinya merupakan kajian-kajian pilihan yang merujuk pada kitab-kitab pegangan buah karya ulama-ulama besar. Diantaranya adalah dari kitab-kitab karangan guru beliau yakni Ibnu Hajar Al-Haitamy, juga kitab-kitab karangan Wajhuddin Abdurohman Bin Ziyad Al-Zubaidi, Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshory, Imam Ahmad Al-MujZaddi Al-Zubaidi, Serta dari ulama lainnya yang merupakan Muhaqqiq Mutaakhirin.

PROFIL PENULIS (AL-MALIBARI)

Nama lengkap: Syaikh Zainuddin bin ‘Abdul ‘Aziz bin Zainuddin bn ‘Ali Al Malibari Al Fannani Asy Syafi’i,

Nama lain: Makhdum Thangal, Zainuddin Al-Tsani.

Tempat Lahir: Malibar (Malabar), India Selatan.

Tahun kelahiran: tidak diketahui.

Wafat: di Funnan/Ponani, India pada tahun 972 H / 987 H/1579 M.

Karya tulis:

  • Kitab Al-Isti’dad lil Maut Wasu’al Qubur (Aqidah).
  • Kitab Qurratul ‘Ain Bimuhimmatid Diin (fiqih; kitab matan Fathul Mu’in).
  • Kitab Fathul Mu‘in fi Syarh Qurrah al-‘Ayn (fiqih; dikomentari oleh Syaikh Sayyid Muhammad Syatho’ Ad Dimyati (W. 1310 H) dengan nama Kitab Hasyiyah I’anatuth Thalibin).
  • Kitab Irsyadul ‘Ibad ila Sabilir Rasyaad (masalah fiqih disertai nasehat & hikayat).
  • Kitab Tuhfatul Muj­tahidin fi Ba‘adh Akhbar Al Burtu­ghalin (sejarah).

BAB SHALAT

بَابُ الصَّلَاةِ

هِيَ شَرْعًا: أَقْوَالٌ وَ أَفْعَالٌ مَخْصُوْصَةٌ، مُفْتَتَحَةٌ بِالتَّكْبِيْرِ مُخْتَتَمَةٌ بِالتَّسْلِيْمِ وَ سُمِّيَتْ بِذلِكَ لِاشْتِمَالِهَا عَلَى الصَّلَاةِ لُغَةً، وَ هِيَ الدُّعَاءُ. وَ الْمَفْرُوْضَاتُ الْعَيْنِيَّةُ خَمْسٌ فِيْ كُلِّ يَوْمٍ وَ لَيْلَةٍ، مَعْلُوْمَةٌ مِنَ الدِّيْنِ بِالضَّرُوْرَةِ، فَيَكْفُرُ جَاحِدُهَا. وَ لَمْ تَجْتَمِعْ هذِهِ الْخَمْسُ لِغَيْرِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ (ص)، وَ فُرِضَتْ لَيْلَةَ الْإِسْرَاءِ بَعْدَ النُّبُوَّةِ بِعَشْرِ سِنِيْنَ وَ ثَلَاثَةِ أَشْهُرٍ، لَيْلَةَ سَبْعٍ وَ عِشْرِيْنَ مِنْ رَجَبَ، وَ لَمْ تَجِبْ صُبْحَ يَوْمِ تِلْكَ اللَّيْلَةِ لِعَدَمِ الْعِلْمِ بِكَيْفِيَّتِهَا.

(إِنَّمَا تَجِبُ الْمَكْتُوْبَةُ) أَيِ الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ (عَلَى) كُلِّ (مُسْلِمٍ مُكَلَّفٍ) أَيْ بَالِغٍ عَاقِلٍ، ذَكَرٍ أَوْ غَيْرِهِ، (طَاهِرٍ) فَلَا تَجِبُ عَلَى كَافِرٍ أَصْلِيٍّ وَ صَبِيٍّ وَ مَجْنُوْنٍ وَ مُغْمًى عَلَيْهِ وَ سَكْرَانَ بِلَا تَعَدٍّ، لِعَدَمِ تَكْلِيْفِهِمْ، وَ لَا عَلَى حَائِضٍ وَ نُفَسَاءَ لِعَدَمِ صِحَّتِهَا مِنْهُمَا، وَ لَا قَضَاءَ عَلَيْهِمَا. بَلْ تَجِبُ عَلَى مُرْتَدٍّ وَ مُتَعَدٍّ بِسُكْرٍ.

(وَ يُقْتَلُ) أَيْ (الْمُسْلِمُ) الْمُكَلَّفُ الطَّاهِرُ حَدًّا بِضَرْبِ عُنُقِهِ (إِنْ أَخْرَجَهَا) أَيِ الْمَكْتُوْبَةَ، عَامِدًا (عَنْ وَقْتِ جَمْعٍ) لَهَا، إِنْ كَانَ كَسَلًا مَعَ اعْتِقَادِ وُجُوْبِهَا (إِنْ لَمْ يَتُبْ) بَعْدَ الْاِسْتِتَابَةِ، وَ عَلَى نَدْبِ الْاِسْتِتَابَةِ لَا يَضْمَنُ مَنْ قَتَلَهُ قَبْلَ التَّوْبَةِ لكِنَّهُ يَأْثَمُ. وَ يُقْتَلُ كُفْرًا إِنْ تَرَكَهَا جَاحِدًا وُجُوْبَهَا، فَلَا يُغْسَلُ وَ لَا يُصَلَّى عَلَيْهِ.

(وَ يُبَادِرُ) مَنْ مَرَّ (بِفَائِتٍ) وُجُوْبًا، إِنْ فَاتَ بِلَا عُذْرٍ، فَيَلْزَمُهُ الْقَضَاءُ فَوْرًا. قَالَ شَيْخُنَا أَحْمَدُ بْنُ حَجَرٍ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى: وَ الَّذِيْ يَظْهَرُ أَنَّهُ يَلْزَمُهُ صَرْفُ جَمِيْعِ زَمَنِهِ لِلْقَضَاءِ مَا عَدَا مَا يَحْتَاجُ لِصَرْفِهِ فِيْمَا لَا بُدَّ مِنْهُ، وَ أَنَّهُ يَحْرُمُ عَلَيْهِ التَّطَوُّعُ، وَ يُبَادِرُ بِهِ – نَدْبًا – إِنْ فَاتَ بِعُذْرٍ كَنَوْمٍ لَمْ يَتَعَدَّ بِهِ وَ نِسْيَانٍ كَذلِكَ.

(وَ يُسَنُّ تَرْتِيْبُهُ) أَيِ الْفَائِتِ، فَيَقْضِي الصُّبْحَ قَبْلَ الظُّهْرِ، وَ هكَذَا. (وَ تَقْدِيْمُهُ عَلَى حَاضِرَةٍ لَا يَخَافُ فَوْتَهَا) إِنْ فَاتَ بِعُذْرٍ، وَ إِنْ خَشِيَ فَوْتَ جَمَاعَتِهَا – عَلَى الْمُعْتَمِدِ -. وَ إِذَا فَاتَ بِلَا عُذْرٍ فَيَجِبُ تَقْدِيْمُهُ عَلَيْهَا. أَمَا إِذَا خَافَ فَوْتَ الْحَاضِرَةِ بِأَنْ يَقَعَ بَعْضُهَا – وَ إِنْ قَلَّ – خَارِجَ الْوَقْتِ فَيَلْزَمُهُ الْبَدْءُ بِهَا. وَ يَجِبُ تَقْدِيْمُ مَا فَاتَ بِغَيْرِ عُذْرٍ عَلَى مَا فَاتَ بِعُذْرٍ. وَ إِنْ فَقَدَ التَّرْتِيْبَ لِأَنَّهُ سُنَّةٌ وَ الْبَدَارُ وَاجِبٌ. وَ يُنْدَبُ تَأْخِيْرُ الرَّوَاتِبِ عَنِ الْفَوَائِتِ بِعُذْرٍ، وَ يَجِبُ تَأْخِيْرُهَا عَنِ الْفَوَائِتِ بِغَيْرِ عُذْرٍ.

(تَنْبِيْهٌ) مَنْ مَاتَ وَ عَلَيْهِ صَلَاةُ فَرْضٍ لَمْ تُقْضَ وَ لَمْ تُفْدَ عَنْهُ، وَ فِيْ قَوْلٍ أَنَّهَا تُفْعَلُ عَنْهُ – أَوْصَى بِهَا أَمْ لَا مَا حَكَاهُ الْعُبَادِيُّ عَنِ الشَّافِعِيِّ لِخَبَرٍ فِيْهِ، وَ فَعَلَ بِهِ السُّبْكِيُّ عَنْ بَعْضِ أَقَارِبِهِ.

BAB SHALAT

Shalat menurut syara‘ adalah ucapan dan perbuatan yang ditertentukan, yang dibuka dengan takbīrat-ul-iḥrām, dan ditutup dengan salam. Shalat dinamakan demikian karena mencakupnya shalat terhadap (pengertian kata) shalat secara bahasa yakni bermakna doa. Shalat yang difardhukan secara individual berjumlah lima waktu setiap hari dan malam yang telah diketahui dari agama secara pasti. Maka dihukumi kafir bagi orang yang menentangnya. Shalat lima waktu ini tidak terkumpul selain pada Nabi kita Muḥammad s.a.w.. Shalat lima waktu difardhukan pada malam Isra’ setelah 10 tahun kenabian lebih 3 bulan. Tepatnya, terjadi pada malam 27 bulan Rajab. Shalat Shubuh dari malam itu tidak diwajibkan sebab belum mengetahui tata caranya.

(Kewajiban melaksanakan shalat maktubah) yakni shalat lima waktu (hanya dibebankan kepada) setiap (orang muslim yang mukallaf) yaitu seorang muslim yang telah baligh, berakal, baik laki-laki maupun yang lainnya (dan orang suci). Maka ritual ibadah shalat itu tidak diwajibkan bagi orang kafir asli, anak kecil, orang gila, epilepsi, dan orang mabuk yang tidak ceroboh, karena tidak ada tanggungan bagi mereka, dan juga tidak wajib seorang wanita yang haidh dan nifas sebab tidak sah shalat dari mereka berdua. Tidak ada kewajiban mengganti shalat yang ditinggalkan atas mereka berdua, namun shalat hukumnya wajib bagi orang murtad dan orang yang ceroboh dalam hilangnya akal sebab mabuk.

(Seorang muslim mukallaf yang suci dibunuh) dengan memenggal kepalanya sebagai hukuman (ketika dia mengeluarkan waktu shalat) yang telah diwajibkan secara sengaja (dari waktu yang dapat digunakan menjama‘) shalat fardhu tersebut, jika ia merasa malas yang disertai dengan keyakinan terhadap kewajibannya (kalau ia tidak bertaubat) setela disuruh. Jika mengikuti pendapat yang menghukumi sunnah menyuruh orang yang meninggalkan shalat untuk taubat, maka tidak wajib mengganti rugi bagi orang yang membunuhnya sebelum ia taubat namun hukumnya berdosa. Dan dibunuh dengan status kafir apabila ia meninggalkan shalat sebab menentang kewajibannya, maka ia tidak boleh dimandikan dan dishalati.

Bersegera melaksanakan shalat yang ditinggalkan oleh orang yang telah disebutkan hukumnya adalah wajib, jika shalat tersebut ditinggalkan dengan tanpa udzur maka wajib baginya mengganti atau mengqadha’ shalat tersebut segera. Guru kita Syaikh Ibnu Ḥajar – semoga Allah mengasihnya – mengatakan: “Jelaslah bahwa baginya wajib menggunakan seluruh waktunya mengganti shalat yang ditinggalkan selain waktu yang ia butuhkan untuk digunakan dalam hal yang wajib, dan haram baginya melakukan kesunnahan. Sunnah bersegera mengqadha’ shalat yang ditinggalkan sebab udzur seperti tidur yang tidak ceroboh, begitu pula lupa.

Disunnahkan untuk mentartibkan shalat yang ditinggalkan, maka shalat Shubuh dikerjakan terlebih dahulu sebelum Zhuhur dan begitu seterusnya. Disunnahkan mendahulukan shalat qadha’ atas shalat yang hadir yang tidak ditakutkan habisnya waktu, jika shalatnya ditinggalkan dengan sebab udzur, walaupun orang tersebut takut kehilangan shalat berjama‘ah dari shalat yang hadir menurut pendapat yang mu‘tamad. Jika shalat tersebut ditinggalkan dengan tanpa udzur, maka wajib baginya untuk mendahulukan mengerjakan shalat qadha’ dengan mengakhirkan shalat yang hadir. Sedangkan apabila ia takut kehilangan waktu yang hadir dengan beradanya sebagian waktu hadir – walaupun hanya sedikit – di luar waktunya maka wajib baginya mengawali shalat yang hadir. Wajib mendahulukan shalat yang ditinggalkan tanpa ada udzur atas shalat yang ditinggalkan dengan udzur walaupun menyebabkan kehilangan tartib, sebab hukum tartib hanya sunnah sedang bersegera hukumnya wajib. Disunnahkan untuk mengakhirkan shalat rawatib dari shalat yang ditinggalkan dengan udzur dan wajib mengakhirkan atas shalat yang ditinggalkan dengan tanpa udzur.

(Peringatan). Barang siapa meninggal dunia sedang ia masih memiliki tanggungan shalat fardhu maka shalatnya tidak diganti dan tidak dibayar fidyah sebagai ganti shalat yang ditinggalkannya. Sebagian pendapat mengatakan: Shalat tersebut dapat dikerjakan sebagai ganti shalat yang ditinggalkan, baik orang tersebut berwasiat ataupun tidak. Imām al-‘Ubādī menghikayatkan pendapat tersebut dari Imam Syafi‘i sebab adanya hadits tentang hal tersebut dan Imām Subkī dengan pendapat tersebut melakukannya sebagai ganti shalat yang ditinggal oleh sebagian kerabatnya.

DOWNLOAD TERJEMAH FATHUL MUIN

Format file: Djvu
– Jilid 1
– Jilid 2:
– Jilid 3:
– Jilid 4:
– Jilid 5:
– Jilid 6:
– Jilid 7:
– Jilid 8:
– Jilid 9:
– Jilid 10
– Jilid 11:
– Jilid 12:

DOWNLOAD FATHUL MUIN VERSI ARAB

– Fathul Muin Arab (pdf)
– Fathul Muin versi Web

Hikmah Sowan Kyai

 

Hikmah Sowan Kiai

Seorang kiai berpesan:

“من لم يعرف الأصول حرم عن الوصول”

Artinya: “Siapa yang melupakan asalnya, maka sulit untuk mencapai kesuksesan.”

Melalui pesan itu, sang kiai ingin menyampaikan, bahwa seorang santri (murid), di mana pun dan kapan pun, jangan sampai melupakan guru yang dulu pernah mengajar dan membimbingnya. Hubungan guru dan murid (kiai dan santri), tidak selesai begitu saja setelah proses belajar rampung. Tapi, sampai kapan pun, hubungan ruhani akan terus terkoneksi. Kendati jarak memisah begitu jauh.

Jangan sampai, guru yang dulu pernah mengajarnya, hanya karena alasan sudah selesai dari interaksi belajar, dilupakan begitu saja. Dalam literatur pesantren, keberkahan menjadi taruhannya. Jika murid sudah tidak lagi ingat terhadap sang guru, keberkahan bisa berkurang, atau bahkan “tidak mberkahi” (tidak berkah hidupnya).

Ibarat kacang yang lupa pada kulitnya. Padahal, kacang akan terbentuk menjadi kacang dalam sebuah kulit yang membungkusnya sampai menjadi betul-betul kacang yang bisa dinikmati banyak orang. Tapi, kacangnya yang bisa dimakan, sementara kulit dibuang dan menjadi sampah. Begitu pun seorang murid. Bisa memperoleh ilmu dan suatu pencapaian hidup, tidak lepas dari peran seorang guru yang dulu membekalinya ilmu dan doa setiap saat. 

Dalam tradisi pesantren, salah satu upaya untuk menjaga dan memperkuat hubungan kiai dan santri adalah dengan sowan. Sowan merupakan tradisi bersilaturahmi kepada kiai. Meski seorang santri sudah tidak lagi di pesantren, ia akan tetap menjaga dan memperkuat hubungan dengan kiainya dengan tradisi sowan tersebut.

Mengenai hubungan guru dengan seorang murid, Imam Al-Ghazali menjelaskan,

يَحْتَاجُ المُرِيدُ إِلَى شَيْخٍ وَأُسْتَاذٍ يَقْتَدِي بِهِ لَا مَحَالَةَ لِيَهْدِيهِ إِلَى سَوَاءِ السَّبِيلِ، فَإِنَّ سَبِيلَ الدِّينِ غَامِضٌ، وَسُبُلَ الشَّيْطَانِ كَثِيرَةٌ ظَاهِرَةٌ. فَمَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ يَهْدِيهِ، قَادَهُ الشَّيْطَانُ إِلَى طُرُقِهِ لَا مَحَالَةَ. فَمَنْ سَلَكَ سُبُلَ البَوَادِي المُهْلِكَةِ بِغَيْرِ خَفِيرٍ فَقَدْ خَاطَرَ بِنَفْسِهِ وَأَهْلَكَهَا، وَيَكُونُ المُسْتَقِلُّ بِنَفْسِهِ كَالشَّجَرَةِ التي تَنْبُتُ بِنَفْسِهَا فَإِنَّهَا تَجِفُّ عَلَى القُرْبِ، وَإِنْ بَقِيَتْ مُدَّةً وَأَوْرَقَتْ لَمْ تُثْمِرْ، فَمُعْتَصَمُ المُرِيدِ شَيْخُهُ، فَلْيَتَمَسَّكْ بِهِ

Artinya: “Seorang murid harus memiliki sosok syaikh dan guru yang diikuti dan menuntunnya ke jalan yang banar. Jalan agama begitu terjal, sementara begitu banyak jalan-jalan setan. Barang siapa yang tidak memiliki guru, maka setan akan menyesatkan jalannya. Seperti orang yang melewati sebuah pedalaman berbahaya tanpa pemandu, maka akan sangat mengancam keselamatannya. Orang yang tanpa guru, laksana pohon yang tumbuh tanpa diurus. Dalam waktu dekat akan mati. Andai pun pohon itu hidup dalam waktu yang lama, tak akan berbuah. Penjaga murid adalah gurunya. Berpeganglah padanya.” (lihat Ihya ‘Ulumiddin, juz 1, hal 98)

Dari pesan Al-Ghazali di atas, setidaknya kita bisa mengambil dua poin penting terkait hubungan seorang guru dan murid. Pertama, guru adalah petunjuk jalan bagi murid. Ibarat orang yang sedang menjelajahi hutan rimba yang baru saja dijejakinya. Tanpa petunjuk, sangat mungkin tersesat. Bahkan, nyawa bisa menjadi taruhannya.

Syekh Ahmad Ali al-Rifa’i (w. 1182 M), salah seorang ulama Syafi’iyyah pembentuk tarekat Ar-Rifa’iyyah, berpesan,

مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ فَشَيْخُهُ الشَّيْطَانُ

Artinya: “Barang siapa yang tidak mempunyai guru, maka gurunya adalah setan.” (lihat Al-Kasyfu ‘an Haqiqoh as-Shufiyyah, hal 321)

Kedua, guru merupakan orang yang merawat si murid. Tanpa perawatan guru melalui ilmu yang diajarkan serta upaya-upaya zahir dan batin yang diberikannya, tidak mungkin seorang murid mampu meraih apa yang hendak dicapainya. Al-Ghazali menganalogikannya bagaikan pohon yang tumbuh tanpa perawatan. Pasti akan mati kekeringan. Jika pun hidup, mustahil berbuah.

Poin yang kedua ini senada dengan pesan Syekh Abu ‘Ali ad-Daqqaq (w. 412 H), salah seorang ulama sufi. Beliau mengatakan,

“Pohon yang tumbuh secara liar (tumbuh sendiri dan tidak ada yang merawatnya), jika pun hidup, tidak akan berbuah. Andaikan berbuah, sebagaimana pohon yang tumbuh di pedalaman dan gunung, rasanya tidak seperti buah di kebun”. (lihat Al-Mausu’ah al-Muyassarah, hal 1772)

Syekh Az-Zarnuji dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim mengisahkan tentang putra seorang Harun al-Rasyid (khalifah kelima dari kekhalifahan Abbasiyyah yang memerintah antara tahun 786 hingga 803).

Suatu ketika, Harun al-Rasyid menyuruh putranya untuk berguru kepada Imam Al-Ashmu’i (w. 831 M). Pada satu kesempatan, Sang Khalifah melihat putranya sedang membantu mengucurkan air dari wadah untuk wudhu gurunya. Melihat kejadian itu, Sang Khalifah menegur Imam Al-Ashmu’i.

“Saya meminta anda untuk mendidik putra saya, mengapa engkau tidak menyuruhnya untuk mengucurkan dengan tangannya saja (Bukan melalui wadah)?”

Bayangkan. Seorang Harun al-Rasyid saja, tetap menyuruh putranya untuk menghormati sang guru dengan maksimal. Bahkan, tidak cukup dengan membantu mengucurkan air untuk wudhu gurunya dengan wadah. Tapi harus dengan tangan putranya langsung.

Demikianlah, betapa penting kedudukan guru bagi seorang murid. Guru adalah orang yang berilmu. Menghormati guru, berarti menghormati ilmu itu sendiri. Salah satu bentuk penghormatan kepada guru adalah dengan tetap memuliakannya. Kapan pun dan di mana pun.

5 Perilaku Teladan Nabi Muhammad kepada Istrinya

“ Sebetulnya sudah terdapat pada( diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik…”( QS. Al- Ahzab: 21)

Nabi Muhammad saw. jadi teladan paripurna dalam menempuh kehidupan di dunia ini untuk umat Islam. Tidak cuma dalam urusan ibadah saja, tetapi dalam perihal muamalah ataupun berhubungan sosial juga, termasuk berhubungan dengan istri. Nabi Muhammad saw. sudah membagikan contoh gimana sepatutnya mengarungi biduk rumah tangga dengan baik. Sehingga‘ tujuan’ menikah ataupun berumah tangga ialah sakinah( ketentraman) dapat diraih. Sebab bagaimanapun kehidupan rumah tangga Nabi Muhammad saw. ialah aplikasi dari nilai- nilai qur’ ani.

Lalu gimana sebetulnya Nabi Muhammad saw. berprilaku serta berinteraksi dengan istrinya?

Paling tidak terdapat 5 perilaku teladan Nabi Muhammad saw. kepada istrinya. ,

Pertama, menghibur istri yang pilu. Nabi Muhammad saw. merupakan suami yang tahu apa yang wajib dilakukan kala istrinya lagi bersedih. Dia senantiasa mencermati curhatan istrinya, menghibur bila istrinya tersakiti, menghapus air mata istri serta mengubahnya dengan senyuman.

Berhubungan dengan perihal ini, terdapat cerita menarik. Sesuatu kala Hafshah binti Umar bin Khattab, seseorang istri Nabi Muhammad saw., melontarkan perkata yang menyakiti hati Shafiyyah, seseorang istri Nabi Muhammad saw.  yang lain. Hafshah‘ mengejek’ Shafiyyah dengan istilah anak wanita Yahudi. Memanglah, Shafiyyah merupakan anak wanita dari Huyay, seseorang pimpinan Yahudi terpandang dari Bani Nadhir. Tetapi perkata Hafshah itu buatnya menangis. Setelah itu Shafiyyah mengadu kepada Nabi Muhammad saw. perihal itu.

“ Sebetulnya engkau( Shafiyyah) merupakan gadis seseorang nabi, pamanmu merupakan seseorang nabi, serta engkau juga terletak di dasar naungan nabi. Hingga apakah yang dia banggakan atas dirimu?” kata Nabi Muhammad saw. melipur lara istrinya yang tersakiti, Shafiyyah, merujuk Buku Rasulullah Teladan buat Semesta Alam( Raghib as- Sirjani, 2011).

Kedua, romantis. Perilaku romantis ialah upaya buat melindungi supaya cinta terus bersemi di hati. Sebagai seseorang nabi serta rasul tidak membatasi Nabi Muhammad saw. buat berlaku romantis kepada istrinya. Sebagaimana riwayat Sayyidah Aisyah, sesuatu kala Nabi Muhammad saw. sempat menggigit daging di sisa gigitannya Sayyidah Aisyah serta minum di sisa mulutnya istrinya itu. Bila malam datang, Nabi Muhammad saw. mengajak Sayyidah Aisyah jalan- jalan sembari berbincang- bincang. Itu perilaku romantis yang ditunjukkan Nabi Muhammad saw. kepada istrinya, makan serta minum dalam satu wadah yang sama.

Ketiga, tidak membebani istri. Nabi Muhammad saw. tetap mengerjakan pekerjaannya sendiri. Tidak sempat Nabi Muhammad saw. membebani istrinya dengan pekerjaan- pekerjaan yang dapat dikerjakannya sendiri. Nabi menyulam pakaiannya yang robek sendiri. Menjahit sandalnya yang putus sendiri. Tidak cuma itu, Nabi Muhammad saw. pula menolong istrinya buat menuntaskan pekerjaan rumah.

“ Rasulullah tetap melaksanakan pekerjaan rumah tangga( menolong urusan rumah tangga). Apabila waktu shalat datang, hingga dia juga keluar buat shalat,” kata Sayyidah Aisyah dalam suatu riwayat.

Keempat, melibatkan istri dalam peristiwa berarti. Nabi Muhammad saw. kerapkali curhat kepada istrinya terpaut dengan perkara yang tengah dialami. Dengan menceritakan kepada istrinya, Nabi Muhammad saw. berharap dapat pemecahan yang didapatkannya. Salah satu istri Nabi Muhammad saw. yang kerap jadi sahabat curhat merupakan Sayyidah Ummu Salamah, yang memanglah populer kecerdasannya.

Sayyidah Ummu Salamah sempat beberapa kali membagikan pemecahan atas perkara yang mengenai Nabi Muhammad saw. Antara lain, peristiwa sehabis ditandatanganinya Perjanjian Hudaibiyah pada tahun ke- 6 Hijriyah. Perjanjian Hudaibiyah dinilai para teman merugikan umat Islam. Sebabnya, dalam isi perjanjian, umat Islam boleh melaksanakan umroh tahun depan, padahal saat itu umat islam sedang akan melaksanakan ibadah umroh.

Setalah menandatangai perjanjian, Nabi Muhammad saw. mengajak kepada para teman- temannya buat mencukur rambut mereka dalam rangka bertahalul saat sebelum kembali ke Madinah. Tetapi, para teman enggan menuruti ajakan Nabi Muhammad saw. tersebut. Hal itu membuat Rasulullah‘ jengkel’. Nabi Muhammad saw. kemudian menggambarkan peristiwa itu kepada Sayyidah Ummu Salamah yang dikala itu turut dalam rombongan.

Kata Sayyidah Ummu Salamah:“ Wahai Rasulullah, keluarlah sehingga mereka melihatmu, tetapi jangan berdialog dengan seseorang juga. Kemudian sembelihlah untamu serta panggil tukang cukur buat memotong rambutmu.” Rasulullah menuruti anjuran Sayyidah Ummu Salamah. Dia keluar dari tendanya, tidak bicara dengan siapapun, setelah itu menyembelih untanya serta mencukur rambut. Serta benar. Sehabis Rasulullah melakukan usulan Sayyidah Ummu Salamah, para shohabat berbondong- bondong mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah.

Kelima, tidak sekalipun memukul serta menyakiti istri. Sesuatu kala Sayyidah Aisyah berdialog dengan nada tinggi kepada Nabi Muhammad saw. Sayyidina Abu Bakar yang dikala itu ada di kediaman Nabi Muhammad saw. mendengar tidak rela jika Nabi Muhammad saw. diperlakukan semacam itu, meskipun oleh anaknya sendiri. Bahkan, Sayyidian Abu Bakar berupaya buat memukul Sayyidah Aisyah. Tetapi, Nabi Muhammad saw. buru- buru mencegahnya. Nabi Muhammad saw. tidak mau istrinya tersakiti, walaupun oleh orang tuanya sendiri maupun Nabi sendiri. Perilaku Nabi Muhammad saw. yang tidak pernah memukul ataupun menyakiti istrinya diperkuat dengan statment Sayyidah Aisyah dalam suatu riwayat. Kata Sayyidah Aisyah, Rasulullah tidak sempat memukul istrinya sekalipun. Malah dia melipur lara istrinya yang menangis sebab suatu hal. 

Review Kitab: Al Ajurumiyyah

Kitab Kuning, dalam agama Islam spesialnya di tanah Jawa, umumnya merujuk kepada suatu kitab tradisional yang berisi pelajaran- pelajaran agama Islam( dirasah al- islamiyah), mulai dari fiqh, aqidah, akhlaq/ tasawuf, tata Bahasa Arab( ilmu nahwu serta ilmu sharf), hadits, tafsir, ulum al- quran, sampai pada ilmu sosial serta kemasyarakatan( muamalah). Kitab Kuning diucap pula dengan‘ Kitab Gundul’ sebab memanglah tidak mempunyai harakat( fathah, kasrah, dhammah, sukun), tidak semacam kitab al- Qur’ an pada biasanya. Tidak hanya itu, dinamakan Kitab Kuning disebabkan lembaran- lembaran yang terdapat di dalamnya bercorak kuning, oleh golongan pesantren Kitab Kuning diucap pula kutub al- shakhra’( kitab- kitab yang bercorak kuning). Buat dapat membaca Kitab Kuning berikut makna harfiah kalimat per kalimat supaya dapat dimengerti secara merata, diperlukan waktu lama.

Salah satu dari sekian banyak Kitab Kuning merupakan kitab tata Bahasa Arab( al- naḥwu al- arabi ataupun qawaid al- lughah al- arabiyah) ataupun diketahui pula dengan sebutan nahwu. Semacam pada biasanya, apabila seorang mau menekuni bahasa orang lain( dalam perihal ini Bahasa Arab) hingga nahwu salah satunya yang wajib dipelajari. Kala seorang menekuni bahasa asing serta tidak menekuni tata bahasanya hingga ditentukan orang itu hendak banyak hadapi kesusahan dalam belajar, karena tiap bahasa di dunia mempunyai ciri serta keitimewaan tertentu yang tidak dipunyai bahasa yang lain.

Dari sekian banyak kitab nahwu yang terdapat, Jurrumiyah karya Ibnu Ajurrum merupakan salah satunya. Kitab ini umumnya dipelajari oleh para pengkaji Bahasa Arab utamanya santri, santri diidentifikasi selaku orang yang tinggal di pondok pesantren serta menekuni ilmu- ilmu agama; al- Qur’ an, hadis serta karya- karya ulama terdahulu dalam bermacam berbagai bidang riset agama.

Tulisan ini hendak menguraikan tentang seluk beluk kitab Jurrumiyah karya Ibnu Ajurrum. Pemilihan kitab ini selaku bahan tulisan disebabkan banyak para pengkaji Bahasa Arab( utamanya golongan pesantren; santri) menekuni kitab ini selaku novel awal yang wajib dipelajari saat sebelum menekuni novel bahasa lain yang tingkatannya lebih besar. Sesungguhnya terdapat apa dengan kitab Jurrumiyah karya Ibnu Ajurrum ini, sehingga banyak santri pendatang baru yang menekuni Bahasa Arab direkomendasikan buat menekuni kitab ini?

Ibnu Ajurrum

Ibnu Ajurrum merupakan seseorang pakar tata Bahasa Arab yang berasal dari Fez, Maroko. Salah satu karyanya, Matn Al- Jurrumiyah sangat populer di segala dunia. Di dunia pesantren Indonesia, karya tersebut diketahui dengan nama Jurrumiyah yang dipergunakan nyaris di segala pesantren tradisional di Indonesia selaku novel pengantar gramatika( nahwu) Bahasa Arab.

Ibnu Ajurrum serta karyanya; Jurrumiyah

Ibnu Ajurrum bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Muhammad bin Ajurrum as- Shanhaji. Kata al- Ajurrum sendiri berasal dari bahasa Barbar yang berarti seseorang fakir serta sufi. Sebaliknya kata al- Shanhaji ialah gelar sebab dia berasal dari Kabilah as- Shanhajah. Dia lahir di kota Fez, Maroko, pada tahun 682 H. Terdapat pula yang berkomentar dia lahir pada tahun 672 H. Dia meninggal di Fez pada tahun 723 H/ 1323 Meter.

Tidak hanya diketahui selaku seseorang pakar tata Bahasa Arab, Ibnu Ajurrum pula diketahui selaku seseorang pakar dalam bermacam bidang, ialah ilmu faraidh, ilmu hisab, ilmu sastra Bahasa Arab serta ilmu qiraat. Dalam bidang qiraat, dia juga melahirkan sebagian karya. Dalam tata bahasa Arab sendiri, dia dikira menjajaki aliran Kufah.

Kitab Jurrumiyah

Di golongan pesantren tradisional, kitab Matn al- Jurrumiyah ialah textbook tentang ilmu nahwu( gramatika Bahasa Arab) yang sangat populer. Nyaris tiap santri yang menimba ilmu di pesantren tradisional memulai pelajaran tentang Bahasa Arab lewat kitab ini. Kitab ini ialah kitab standar yang ialah dasar dari pelajaran Bahasa Arab. Dalam prakteknya di dunia pesantren, kitab tersebut kerap diucap dengan nama Jurrumiyyah. Penamaan tersebut tidak persis sama dengan nama asli kitab tersebut, sebab judul lengkap kitab tersebut merupakan Matn Al- Jurrumiyah. Terdapat pula yang berkata judul asli bukunya al- Muqaddimah al- Ajurrumiyyah fi Mabadi’ Ilm al- Arabiyyah.

Walaupun kitab Jurrumiyah begitu populer di golongan pesantren, tetapi sang pengarang kitab itu sendiri tidak begitu diketahui di golongan pesantren. Perihal itu sebab dalam prakteknya di pesantren, santri kerap kali cuma disodori tentang pelajaran yang tercantum dalam kitab yang lagi dipelajari. Santri tidak sering diperkenalkan oleh si kyai ataupun ustazd dengan sang pengarang kitab yang lagi mereka pelajari. Perihal itu normal pula sebab si kyai ataupun si ustazd sendiri belum pasti memahami betul siapa sang pengarang kitabnya. Sempat dikisahkan tentang cerita seputar kitab Jurrumiyah, konon kala kitab Jurrumiyah berakhir ditulis, penulisnya( Ibnu Ajurrum) melepas di pinggiran sungai dengan meletakkannya bertentangan arus, buat berupaya kalau apa yang ditulisnya betul- betul mempunyai kesaktian, serta konon kitab Jurrumiyah berjalan menyusuri sungai dengan bertentangan arus.

Cocok namanya, Jurrumiyah memanglah kitab muqaddimah( pengantar) tentang ilmu nahwu yang ditulis oleh Ibnu Ajurrum dikala terletak di Mekkah. Isinya sangat sederhana serta mendasar. Sebab seperti itu, kitab ini juga butuh diberi uraian yang lebih mendalam dikala seseorang santri hendak menekuni ilmu nahwu lebih lanjut. Dengan alibi seperti itu, kitab ini kesimpulannya banyak diberi uraian oleh banyak ulama, sampai menggapai 3 puluh novel uraian mungkin dapat lebih. Penjelasan- penjelasan tersebut nanti dijadikan satu kitab dengan Jurrumiyah. Dalam kepustakaan Bahasa Arab, kitab- kitab yang berisi uraian terhadap suatu kitab yang lain diucap dengan sebutan kitab syarah. Tidak hanya syarah, kitab- kitab yang menarangkan kitab syarah dinamakan khasyiyah, jadi khasyiyah lebih panjang lebar penjelasannya dibanding dengan kitab syarah.

Tidak hanya diberi uraian ataupun pembahasan, kitab Jurrumiyah pula diringkas oleh ulama- ulama lain jadi untaian bait( nazham). Tidak kurang dari 4 kitab yang muat untaian bait yang bersumber dari kitab jurrumiyah ini. Kitab untaian bait yang sangat populer merupakan yang dikarang oleh Muhammad bin Abi al- Ghalawi ataupun yang diketahui dengan nama Ubaid Rabbih.

Isi kitab Jurrumiyah

Adapun pembagian bab ilmu nahwu yang terdapat dalam kitab Jurrumiyah sebagai berikut:

1. Muqaddimah

2. Aqsam Al- Kalam

3. Bab Al- I’ rab

4. Bab Ma’ rifati‘ Alamati Al- I’ rab

5. Fashl Fi Aqsam Al- Mu’ rabat

6. Bab Al- Af’ al

7. Bab Marfu’ at Al- Asma’

8. Bab Al- Fa’ il

9. Bab Al- Maf’ ul Alladzi Lam Yusam Fa’ iluhu

10. Bab Al- Mubtada’ Wa Al- Khabar

11. Bab Al- Awamil Al- Dakhilah’ ala Al- Mubtada’ Wa Al- Khabar

12. Bab Al- Na’ th

13. Bab- Al-‘ Athf

14. Bab Al- Taukid

15. Bab Al- Badal

16. Bab Mansubat Al- Asma’

17. Bab Al- Maf’ ul Bih

18. Bab Al- Masdar

19. Bab Al- Dharf Al- Makan Wa Dharf Al- Zaman

20. Bab Al- Khal

21. Bab Al- Tamyiz

22. Bab Al- Istitsna’

23. Bab La

24. Bab Al- Munada

25. Bab Al- Maf’ ul Li Ajlih

26. Bab Al- Maf’ ul Ma’ ah

27. Bab Makhfudhat Al- Asma’

28. Fahras Al- Maudhu’ at

Demikianlah cerminan kitab kuning Jurrumiyah serta pengarangnya Ibnu Ajurrum, untuk para pendatang baru pengkaji Bahasa Arab butuh menekuni kitab ini sebab isinya yang begitu padat serta jelas. Walaupun demikian, untuk para pendatang baru yang belum dapat sama sekali tentang Bahasa Arab serta mau menekuni kitab ini butuh pembimbing buat memusatkan uraian. Buat para pelajar intermediate, kala membaca kitab ini bisa jadi sangat gampang sebab telah mempunyai dasar membaca serta mempunyai mufradat( kosa kata) yang lumayan. Wallahu a’ lam.