Hubungan Santri Dan Kyai Yang Sangat Mengagumkan

Kedekatan Kiai- Santri

Pondok pesantren selaku pusat riset Islam klasik ialah salah satu wujud dari kearifan lokal( local wisdom) dari sekian banyak khazanah peninggalan budaya Islam Nusantara. Secara harfiah pesantren berarti lembaga pembelajaran Islam tradisional buat menekuni, menguasai, menghayati, serta mengamalkan ajaran agama Islam( tafaqquh fiddin) dengan menekankan berartinya moral keagamaan selaku pedoman hidup bermasyarakat. Concern pesantren dalam visinya merupakan mencetak kader- kader andal yang siap penuhi kebutuhan warga. Lebih dari itu pesantren mengharapkan tiap anak didiknya jadi seseorang Insan Kamil, manusia paripurna yang mempunyai budi pekerti luhur; tidak meresahkan warga serta tentu saja hubbul wathon, menyayangi tanah airnya dengan sepenuh hati serta segenap jiwa raga mereka.

Bila disebuah universitas orang hendak memahami sebutan dosen- mahasiswa, dalam sistem pembelajaran pesantren kita alan dikenalkan dengan sebutan kiai- santri. Sekilas bisa jadi keduanya nampak sama, kiai guru, dosenpun juga guru; mahasiswa murid, santri juga murid. Tetapi, pada realitasnya sebutan yang digunakan memiliki perbandingan yang begitu mendasar, bila dosen cuma diposisikan selaku pengajar yang apabila sehabis jam pelajarannya berakhir hingga tugasnya juga berakhir. Perihal ini berbeda jauh dengan kiai, ikatan kiai dengan para santri bukanlah sesimpel dosen dengan mahasiswa. Kiai diposisikan bukan cuma selaku pengajar, tetapi pula selaku pendidik spiritual para santri yang didalamnya ada ikatan istimewa ialah ikatan yang dijiwai oleh semangat nasyrul ilmi yang mereka emban buat misi dakwah islamiah, menyebarkan Islam yang rahmatan lil alamin, di mana para santri menemukan pengajaran tentang akidah, adab (tata krama), dalil- dalil agama supaya mereka siap buat mengalami lika- liku kehidupan dunia.

Sebagian perbandingan kecil antara kalangan akademisi serta pesantren bisa kita amati kalau saat sebelum mengajar, seseorang kiai serta para santrinya bersama- bersama mendoakan guru- guru mereka dengan harapan biar silsilah sanad keilmuannya dapat senantiasa on time terkoneksi dengan baik serta memperoleh ilmu yang berguna dan kebaikan hidup dari apa yang mereka pelajari. Ritual semacam ini bisa jadi tidak sering terlaku, bahkan bisa jadi tidak kita temukan disekolah- sekolah universal ataupun diuniversitas- universitas ternama sekalipun. 

Kedekatan antara kiai dengan santri tidak terhenti hingga di sana. Seseorang kiai hendak jadi pelindung untuk mereka, sedangkan para santri secara gotong royong menolong keperluan serta kebutuhan hidup si kiai, misalanya dengan mengerjakan sawah serta tanah ladang kiainya. Sokongan ini terjalin di samping sebab figur si kiai yang sudah memperoleh pengakuan secara penuh, juga disebabkan mereka merasa berhutang budi atas tutorial serta kebaikan si kiai, ataupun dalam sebutan santri mereka anggap perihal itu selaku bentuk khidmah mereka kepada guru. Perihal semacam ini, turut andil dalam menghasilkan atmosfer jalinan kekeluargaan yang kokoh di antara mereka. Sampai dikala ini banyak sekali pondok pesantren yang masih melestarikan sikap ini. Sehingga, walaupun si kiai sanggup penuhi kebutuhannya sendiri, terkadang pula menemukan sumbangsih dari hasil bumi ataupun wujud yang lain dari keluarga para santri serta warga dekat yang berkecukupan secara ekonomi.

Karenanya, bisa dimengerti, bila ikatan mereka tidak lalu terputus seusai seseorang santri menuntaskan masa pembelajaran. Tidak terdapat mantan murid, juga tidak terdapat mantan kiai. Inilah prinsip yang sepanjang ini dipegang di golongan pesantren, ikatan seseorang santri dengan gurunya di pondok pesantren terus bertahan hingga akhir hayat kehidupannya serta tidak dapat diputuskan oleh apapun. Guru merupakan guru serta murid merupakan murid, inilah kenyataan yang berlaku di dunia pesantren.

Hingga, kerapkali seseorang kiai dilibatkan selaku pertimbangan utama sekalipun dalam hal- hal yang sangat individu. Misalnya tentang keputusan memilah pekerjaan, begitu percayanya seseorang santri dengan konsep barakah. Hingga tidak sedikit seseorang santri memohon petunjuk serta doa restu tentang pekerjaan yang baik untuknya. Tentang keputusan memilah calon istri ataupun calon suami, kerapkali para kiai jadi mak comblang; buat para santrinya dengan orang lain. Malahan, kiai sendiri kadangkala yang melamarkan buat santrinya. Tentang pemberian nama untuk putra- putri santrinya, kai pula kerap dilibatkan. Mereka percaya kalau nama seorang banyak mempengaruhi dengan masa depannya nanti, begitu pula dari siapa nama itu diberikan. Dengan memohon kiai memilihkan nama pada anak mereka, para alumni percaya balita mereka akan menghadapi nasib yang baik. Begitu juga kala terjalin konflik keluarga, kiai kerap kali dimohon buat jadi penengah dalam menyelesaikannya.

Memandang sejarahnya, kedekatan kiai- santri bukan hal yang aneh, ikatan ini telah lama terlaku. Kesakralannya bawa ikatan batiniah yang begitu kokoh serta jadi sesuatu chemistry tertentu untuk keduannya.

Kala Indonesia masih berjuang melawan penjajah, banyak kita temukan seseorang kiai menyerukan perlawananan, mengobarkan semangat nasionalisme, serta mengangkut senjata bersama- bersama dengan para santrinya. Fakta nyata atas perihal tersebut ialah terbitnya Resolusi Jihad oleh KH Hasyim Asy’ ari yang berisi seruan harus untuk seluruh penduduk Indonesia yang terletak pada jarak masafatul qosri buat berjihad melawan para penjajah. Akibatnya, dengan berbondong- bondong para santri menyongsong seruan itu. Mereka berlomba menjadikan diri mereka selaku seseorang santri yang sami’ na wathana, mendengar serta siap melakukan tiap apa yang diperintahkan si guru. Hingga, tidak heran bila terdapat seseorang kiai yang sekaliber Mbah Kiai Abdul Karim dikala menjelang wafatnya, yang beliau mau hanya biar bisa diakui selaku santri Sang Mbah Kiai Kholil Bangkalan. Sebab untuk diri para santri, pengakuan seseorang kiai atas kesantriannya merupakan sesuatu harga mati yang amat begitu sakral demi terjalinnya ikatan batiniah mereka dengan si guru.

Jika kita cermati secara mendalam, ikatan santri dengan kiai merupakan ikatan yang saling memenuhi ( komplementer). Ibarat suatu bangunan, hingga kiai selaku pondasinya serta para santri selaku badan bangunannya itu sendiri. Sebab kiailah yang meletakan dasar- dasar pengetahuan serta amaliahnya, sebaliknya para santri yang melajutkan dasar- dasar tersebut

Pada kesimpulannya, potret tersebut melahirkan statement kalau ikatan kiai serta santri tidak lagi sebatas murid dengan guru. Tetapi, bertransformasi lebih kedalam suatu ikatan batiniah ideologis yang mengimplementasikan wujud serta nilai- nilai pembelajaran seumur hidup (long life education). Sebab dalam ikatan silaturahim yang mereka bagun serta rawat, di dalamnya terdapat semangat senantiasa belajar, transformasi tata nilai, transformasi budaya serta tradisi keagamaan. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *