122 Tahun Pesantren Tebuireng, Mengawal Perpaduan Islam dan Indonesia

122 Tahun Pesantren Tebuireng, Mengawal Perpaduan Islam dan Indonesia
Salah satu tempat ikonik di Pondok Pesantren Tebuireng yang berlokasi di halaman depan Komplek Y

Pondok Pesantren Tebuireng Jombang terus mengembangkan diri. Kini, banyak cabang pesantren Tebuireng yang didirikan di luar kota, bahkan di luar pulau. Unit pendidikan yang dulunya bisa dihitung dengan jari pun saat ini juga makin bertambah banyak.

Mulai Sekolah Dasar Islam (SDI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), hingga Universitas Hasyim Asy’ari (UNHASY). Bahkan unit-unit tersebut kini ditambah lagi dengan Madrasah Diniyah, Madrasah Mu’allimin, dan Ma’had Aly.

Disamping itu juga hadir unit-unit penunjang lainnya seperti Unit Penerbitan Buku dan Majalah, Unit Koperasi, Unit Pengolahan Sampah, Puskesmas Pesantren (Puskestren), Unit Penjamin Mutu, Unit Perpustakaan, dan lain sebagainya. Semua unit tersebut (selain UNHASY), merupakan ikon dari eksistensi Pesantren Tebuireng sekarang.

Hari ini, 3 Agustus 2021, pesantren besutan Hadratusyyaikh KH M Hasyim Asy’ari itu genap berusia 122 Tahun. Mengusung tema Mengawal Perpaduan Islam dan Indonesia, pesantren Tebuireng mentasbihkan diri sebagai ‘Pesantren Terkemuka Mencetak Pemimpin Berakhlak Mulia’.

Dikutip dari Tebuireng Online, pada tanggal 28 Rabiul Awal 1317 Hijriyah atau bertepatan pada tanggal 3 Agustus 1889 Masehi lalu, Hadratusyyaikh KH M Hasyim Asy’ari mendirikan tempat belajar dan mengaji bagi para santri dengan diberi nama ‘Pesantren Tebuireng’.

Asal Muasal Nama Pesantren Tebuireng

Tebuireng adalah nama sebuah pedukuhan yang termasuk wilayah administratif Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, berada pada kilometer 8 dari kota Jombang ke arah selatan. Nama pedukuhan seluas 25,311 hektar ini kemudian dijadikan nama pesantren yang didirikan oleh Kiai Hasyim.

Menurut penuturan masyarakat sekitar, nama Tebuireng berasal dari kata ”kebo ireng” (kerbau hitam). Konon, ada seorang penduduk yang memiliki kerbau berkulit kuning. Suatu hari, kerbau tersebut menghilang dan setelah dicari kian kemari, kerbau itu ditemukan dalam keadaan hampir mati karena terperosok di rawa-rawa yang banyak dihuni lintah. Sekujur tubuhnya penuh lintah, sehingga kulit kerbau yang semula berwarna kuning kini berubah menjadi hitam. Peristiwa ini menyebabkan pemilik kerbau berteriak ”kebo ireng …! kebo ireng …!” Sejak saat itu, dusun tempat ditemukannya kerbau itu dikenal dengan nama Kebo Ireng.

Akan tetapi ada juga Versi lain yang menuturkan bahwa nama Tebuireng berawal dari pemberian nama oleh seorang punggawa kerajaan Majapahit yang masuk Islam dan kemudian tinggal di sekitar dusun tersebut

Pada perkembangan selanjutnya, ketika penduduk dusun tersebut mulai ramai, nama Kebo Ireng berubah menjadi Tebuireng. Tidak diketahui dengan pasti kapan perubahan itu terjadi dan apakah hal itu ada kaitannya dengan munculnya pabrik gula di selatan dusun tersebut, yang banyak mendorong masyarakat untuk menanam tebu. Karena ada kemungkinan, tebu yang ditanam berwarna hitam maka dusun tersebut berubah nama menjadi Tebuireng.

Berdirinya Pesantren Tebuireng

Pada penghujung abad ke-19, di sekitar Tebuireng bermunculan pabrik-pabrik milik orang asing (terutama pabrik gula). Bila dilihat dari aspek ekonomi, keberadaan pabrik-pabrik tersebut memang menguntungkan karena akan membuka banyak lapangan kerja. Akan tetapi secara psikologis justru merugikan, karena masyarakat belum siap menghadapi industrialisasi. Mereka belum terbiasa menerima upah sebagai buruh pabrik. Upah yang mereka terima biasanya digunakan untuk hal-hal yang bersifat konsumtif-hedonis. Budaya judi dan minum minuman keras pun menjadi tradisi.

Ketergantungan rakyat terhadap pabrik kemudian berlanjut pada penjualan tanah-tanah rakyat yang memungkinkan hilangnya hak milik atas tanah. Diperparah lagi oleh gaya hidup masyarakat yang amat jauh dari nilai-nilai agama.

Kondisi ini menyebabkan keprihatinan mendalam pada diri Kiai Hasyim. Beliau kemudian membeli sebidang tanah milik seorang dalang terkenal di dusun Tebuireng. Lalu pada tanggal 26 Rabiul Awal 1317 H (bertepatan dengan tanggal 3 Agustus 1899 M), Kiai Hasyim mendirikan sebuah bangunan kecil yang terbuat dari anyaman bambu (Jawa: tratak), berukuran 6 X 8 meter. Bangunan sederhana itu disekat menjadi dua bagian. Bagian belakang dijadikan tempat tinggal Kiai Hasyim bersama istrinya, Nyai Khodijah, dan bagian depan dijadikan tempat sholat (mushalla). Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.

Kehadiran Kiai Hasyim di Tebuireng tidak langsung diterima dengan baik oleh masyarakat. Gangguan, fitnah, hingga ancaman datang bertubi-tubi. Tidak hanya Kiai Hasyim yang diganggu, para santripun sering diteror. Teror itu dilakukan oleh kelompok-kelompok yang tidak menyukai kehadiran pesantren di Tebuireng. Bentuknya beraneka ragam. Ada yang berupa pelemparan batu, kayu, atau penusukan senjata tajam ke dinding tratak

Para santri seringkali harus tidur bergerombol di tengah-tengah ruangan, karena takut tertusuk benda tajam. Gangguan juga dilakukan di luar pondok, dengan mengancam para santri agar meninggalkan pengaruh Kiai Hasyim. Gangguan-gangguan tersebut berlangsung selama dua setengah tahun, sehingga para santri disiagakan untuk berjaga secara bergiliran.

Ketika gangguan semakin membahayakan dan menghalangi sejumlah aktivitas santri, Kiai Hasyim lalu mengutus seorang santri untuk pergi ke Cirebon, Jawa Barat, guna menemui Kiai Saleh Benda, Kiai Abdullah Panguragan, Kiai Samsuri Wanantara, dan Kiai Abdul Jamil Buntet. Keempatnya merupakan sahabat karib Kiai Hasyim. Mereka sengaja didatangkan ke Tebuireng untuk melatih pencak silat dan kanuragan selama kurang lebih 8 bulan.

Dengan bekal kanuragan dan ilmu pencak silat ini, para santri tidak khawatir lagi terhadap gangguan dari luar. Bahkan Kiai Hasyim sering mengadakan ronda malam seorang diri. Kawanan penjahat sering beradu fisik dengannya, namun dapat diatasi dengan mudah. Bahkan banyak diantara mereka yang kemudian meminta diajari ilmu pencak silat dan bersedia menjadi pengikut Kiai Hasyim. Sejak saat itu Kiai Hasyim mulai diakui sebagai bapak, guru, sekaligus pemimpin masyarakat.

Luasnya Pengaruh Kiai Hasyim

Dengan tumbuhnya pengakuan masyarakat, para santri yang datang berguru kepada Kiai Hasyim bertambah banyak dan datang dari berbagai daerah baik di Jawa maupun Madura. Bermula dari 28 orang santri pada tahun 1899, kemudian menjadi 200 orang pada tahun 1910, dan 10 tahun berikutnya melonjak menjadi 2000-an orang, sebagian diantaranya berasal dari Malaysia dan Singapura. Pembangunan dan perluasan pondok pun ditingkatkan, termasuk peningkatan kegiatan pendidikan untuk menguasai kitab kuning.

Kiai Hasyim mendidik santri dengan sabar dan telaten. Beliau memusatkan perhatiannya pada usaha mendidik santri sampai sempurna menyelesaikan pelajarannya, untuk kemudian mendirikan pesantren di daerahnya masing-masing. Beliau juga ikut aktif membantu pendirian pesantren-pesantren yang didirikan oleh murid-muridnya, seperti Pesantren Lasem (Rembang, Jawa Tengah), Darul Ulum (Peterongan, Jombang), Mambaul Ma’arif (Denanyar, Jombang), Lirboyo (Kediri), Salafiyah-Syafi’iyah (Asembagus, Situbondo), Nurul Jadid (Paiton Probolinggo), dan lain sebagainya.

Pada masa pemerintahan Jepang, tepatnya tahun 1942, Sambu Beppang (Gestapo Jepang) berhasil menyusun data jumlah kiai dan ulama di Pulau Jawa. Ketika itu jumlahnya mencapai 25.000an orang, dan mereka rata-rata pernah menjadi santri di Tebuireng. Hal ini menunjukkan betapa besar pengaruh Pesantren Tebuireng dalam pengembangan dan penyebaran Islam di Jawa pada awal abad ke-20.

Karena kemasyhurannya, para kiai di tanah Jawa mempersembahkan gelar ”Hadratusy Syeikh” yang artinya ”Tuan Guru Besar” kepada Kiai Hasyim. Beliau semakin dianggap keramat, manakala Kiai Kholil Bangkalan yang dikeramatkan oleh para kiai di seluruh tanah Jawa-Madura, sebelum wafatnya tahun 1926, telah memberi sinyal bahwa Kiai Hasyim adalah pewaris kekeramatannya. Diantara sinyal itu ialah ketika Kiai Kholil secara diam-diam hadir di Tebuireng untuk mendengarkan pengajian kitab hadits Bukhari-Muslim yang disampaikan Kiai Hasyim. Kehadiran Kiai Kholil dalam pengajian tersebut dinilai sebagai petunjuk bahwa setelah meninggalnya Kiai Kholil, para Kiai di Jawa-Madura diisyaratkan untuk berguru kepada Kiai Hasyim.

Bisa dikatakan, Pesantren Tebuireng pada masa Kiai Hasyim merupakan pusatnya pesantren di tanah Jawa. Dan Kiai Hasyim merupakan kiainya para kiai. Terbukti, ketika bulan Ramadhan tiba, para kiai dari berbagai penjuru tanah Jawa dan Madura datang ke Tebuireng untuk ikut berpuasa dan mengaji Kitab Shahih Bukhari-Muslim.

Keberadaan Pesantren Tebuireng akhirnya berimplikasi pada perubahan sikap dan kebiasaan hidup masyarakat sekitar. Bahkan dalam perkembangannya, Pesantren Tebuireng tidak saja dianggap sebagai pusat pendidikan keagamaan, melainkan juga sebagai pusat kegiatan politik menentang penjajah. Dari pesantren Tebuireng lahir partai-partai besar Islam di Indonesia, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Majelis Syuro A’la Indonesia (Masyumi), Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), serta laskar-laskar perjuangan seperti Sabilillah, Hizbullah, dan lain sebagainya.

Tebuireng Dari Masa ke Masa

Ketika Kiai Hasyim Asy’ari wafat pada tahun 1947 silam, beliau sudah menyiapkan penggantinya, yaitu putranya sendiri, Wahid Hasyim -yang dikenal cerdas sejak muda- pada tahun 1950 dalam usia yang baru menginjak 39 tahun, Ia sudah menjadi Menteri Agama Republik Indonesia.

Karena kesibukannya di Jakarta, kepemimpinan pesantren Tebuireng diserahkan kepada KH Karim Hasyim. Setelah Kiai Karim wafat, 1951, tongkat kepemimpinan diserahkan kepada KH Achmad Baidhawi, yang memimpin cuma setahun, karena meninggal dunia. Setelah itu, sejak 1952 sampai 1965, Pesantren Tebuireng dipimpin KH Kholiq Hasyim. Dan sejak 1965 sampai 2006, dikendalikan oleh KH Yusuf Hasyim.

Di bawah Yusuf Hasyim, pesantren ini tak lagi cuma mengajarkan ilmu-ilmu agama, melainkan juga mendirikan SMP dan SMU. Mulai tahun 2006 sampai 2019, pengasuh Tebuireng dipegang cucu Hadratussyaikh KH Hasyim Asyari, KH Salahuddin Wahid atau Gus Sholah. Pada masa inilah cabang Tebuireng berdiri di luar kota dan luar pulau. Lembaga pendidikan baru juga banyak didirikan semisal SMA Trensains dan SDI Tebuireng Ir Soedigno.

Setelah Gus Sholah wafat, kepemimpinan pesantren Tebuireng mulai 2020 sampai sekarang ini dipegang oleh KH Abdul Hakim Mahfudz atau Gus Kikin. 

Bagi masyarakat, siapapun pengasuhnya, cahaya ilmu yang memancar dari pesantren Tebuireng terus memancar ke pelosok negeri. (Sumber)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *