GITA SAVITRI MEMLIH CHILDFREE. APA ITU CHILD FREE?

Topik childfree kini sedang ramai dibahas sesudah YouTuber Gita Savitri secara terbuka mengutarakan opsinya tidak untuk punyai anak.

Gita sendiri telah menikah dengan Paul Andre Partohap pada Agustus 2018.

Beberapa saat lalu, Gita melalui upload di Instagram Story, jawab pertanyaan dari netizen masalah opsi hidupnya untuk childfree.

“Di kamus hidup saya, “mendadak diberi” is very unlikely.

Karena sangat banyak hal protektif yang dapat dilaksanakan tidak untuk punya,” tutur Gita saat jawab pertanyaan netizen beberapa lalu, dikutip Kompas. com.

Pengakuan Gita itu selanjutnya memetik kontroversi di beberapa kelompok.

Lalu, apakah itu childfree?

Menurut dictionary.cambridge.org, childfree ialah istilah yang dipakai untuk mengarah orang yang pilih tidak mempunyai anak, atau tempat atau keadaan tanpa anak.

Saat interviu yang sudah dilakukan seorang profesor sosiologi di University of Maine, Amy Blackstone, pada 21 wanita dan 10 pria, berikut argumen beberapa orang pilih childfree, diambil dari USA Today:

1. Sebagai keputusan yang diambil dengan sadar, bukan kebetulan

Sebagian besar orang yang diinterviu menjelaskan childfree sebagai keputusan yang diambil dengan sadar.

“Beberapa orang yang memilih untuk childfree bisa disebutkan lebih bijak. Ini ditetapkan secara menyengaja,” kata seorang peserta interviu pria.

“Banyak orang yang mempunyai anak bahkan juga tidak berpikiran masalah childfree,” lebih seorang peserta wanita.

2. Keputusan diambil dari hari ke hari, bukan lantaran satu kejadian

Peserta interviu memvisualisasikan childfree sebagai “ketetapan bekerja”, yang dikuasai pengalaman waktu kecil, sikap individu, pembicaraan dengan pasangan, dan memperhatikan orang yang mempunyai anak.

3. “Saya selalu berasa semacam ini, tidak tertarik mempunyai anak”

Di lain sisi, beberapa peserta interviu selalu mengetahui jika punyai anak bukan suatu hal yang mereka harapkan.

4. Tidak sukai bagaimana kehidupan berbeda saat mempunyai anak

Banyak peserta interviu dengan teliti memperhatikan kehidupan seseorang disekitaran mereka yang sudah jadi orangtua.

Mereka tidak menyenangi apa yang mereka saksikan.

“Saat teman-temanku mulai punyai anak, itu membuatku berpikiran, ‘Oh, saya rasa ini bukanlah hal yang pas bagiku.'”

“Karena, bahkan juga bila saya inginkan anak, demikian mereka punyai anak dan kehilangan kebebasan dan individualitas mereka, itu betul-betul permasalahan penting buatku.”

“Itu tidak seperti terlihat sejumlah hal keluarga yang membahagiakan dan berbahagia yang kamu pikir saat kamu masih tergolong muda,” papar seorang peserta wanita.

“Beberapa orang yang mempunyai anak-anak tidak kelihatan berbahagia, sebagian besar tentu depresi.”

“Ada suatu hal berkenaan ‘punya anak’ yang tidak membuatku tertarik jalani pola hidup semacam itu,” tambah lainnya.

5. Ingin dekat sama pasangan

Untuk beberapa orang, keputusan childfree benar-benar serupa dengan motivasi beberapa orang tua untuk punyai anak: kemauan mempunyai jalinan yang kuat dalam kehidupan mereka.

Dalam kasus orangtua, jalinan yang diartikan ialah mengasuh anak.

Tetapi, untuk childfree, mereka ingin memperkuat dan memusatkan cinta pada pasangan.

6. Mempunyai anak akan batasi impian dalam kehidupan

Argumen ini lebih umum di kelompok pria.

Mereka betul-betul menimbang bagaimana mengasuh anak akan berpengaruh pada kehidupan dan apa yang perlu mereka pertaruhkan bila mempunyai anak tercinta.

Secara umum, lelaki condong menimbang dirinya dalam memutuskan.

Prosesnya juga memiliki sifat intern, individual, dan individu.

Di lain sisi, wanita akan pikirkan seseorang dan condong membuat keputusan yang dibikin bersama dengan pasangannya.

7. Childfree ialah keputusan yang bertanggungjawab

Wanita terutamanya berpikiran mengenai bagaimana mempunyai anak akan berpengaruh di lingkungan, konsumsi terlalu berlebih, dan komunitas berlebihan.

Mereka menimbang apa adil untuk melahirkan seorang anak ke dunia.

“Saya kemping sepanjang akhir minggu dan menyaksikan sampah yang ditinggal beberapa orang bersama anak mereka.”

“Sampah menumpuk sesudah mereka tinggalkan tempat perkemahan. Saya pikirkan beberapa hal seperti tingkat komunitas yang bisa diterima,” kata seorang wanita.

“Saya betul-betul berpikiran jika dunia sedang melawan anak sekarang ini.”

“Saat ini, dalam susunan sosial kita sekarang ini, mempunyai anak tidak jadi hal yang bagus.”

“(Ke depannya) kami tidak dapat memperbesar mereka dengan baik dan sehat,” tambah lainnya.

Mencuplik uns.ac.id, argumen lain seorang putuskan childfree umumnya berkaitan permasalahan individual, keuangan, background keluarga, kekuatiran akan perkembangan anak, rumor atau persoalan lingkungan, sampai argumen berkaitan emosional atau naluri keibuan.

Childfree Menurut Psikiater

Masih mencuplik uns.ac.id, keputusan childfree perlu mengikutsertakan keluarga besar.

Ini dikatakan Psikolog Sosial dari Fakultas Kedokteran UNS, Dr Tri Rejeki Andayani.

Tri menjelaskan, pernikahan pada konsepnya mengikutsertakan dua keluarga besar.

Karenanya, keputusan untuk childfree seharusnya dikatakan ke orang tua masing-masing.

“Karena, orangtua dari pasangan suami istri itu pasti mempunyai keinginan pada pernikahan anak-anaknya.”

“Satu diantaranya keinginan untuk mempunyai cucu yang melanjutkan turunannya,” terangnya, Kamis (1/7/2021).

Bila keputusan itu tidak dapat diterima, pasti jadi tekanan sosial untuk pasangan.

Tapi, jika diterima, maka pasangan semakin lebih gampang hadapi tekanan sosial dari warga di luar keluarga.

Tri meneruskan, rasa bingung dan terkejut bisa menjadi tanggapan menguasai saat seorang menjumpai peristiwa childfree.

Ini tidak lepas dari sudut pandang budaya kelompok kita, di mana kultur warga menuntut atau menginginkan seorang yang masuk umur dewasa untuk menikah dan mempunyai anak.

Satu antara argumen seorang pilih childfree ialah karena ada rasa ketidakyakinan akan kekuatan dalam menjaga dan mengasuh anak.

Hal itu, tutur Tri, dapat diakali dengan keutamaan membuat parenting self-efficasy pada pasangan di periode penyiapan menikah.

“Hingga calon ayah atau ibu mempunyai kepercayaan diri pada kapabilitasnya dalam menjaga dan memberinya pengasuhan pada anak yang positif.”

“Ini akan punya pengaruh pada sikap pengasuhannya dan mendukung tumbuh berkembang anak dengan maksimal,” ujarnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *