Viral Fatwa Hukum BH, Begini Batasan Aurat Wanita Menurut Fiqih

Begini Batasan Aurat Wanita Menurut Fiqih
Begini Batasan Aurat Wanita Menurut Fiqih

Tintasantri.com – Belakangan, sedang viral di Media sosial tengah ramai mempersoalkan sebuah tulisan tentang pemakaian BH atau bra. Tulisan itu berisi hukum terkait penggunaan bra.

Dilihat Ngadmin pada, Selasa (5/10/2021), tulisan itu diterbitkan oleh TEMANSHALIH.COM. Dalam tulisan itu mengulas fatwa Arab Saudi hukum ‘Bolehkah Akhwat Taaruf Tanpa BH?’.

Tulisan itu lalu di-retweet oleh sejumlah akun. Dalam tulisan itu dijelaskan kalau perempuan boleh tidak menggunakan bra, asalkan menggunakan busana yang menutupi seluruh aurat.
Lantas, Bagaimana sebenarnya batasan aurat bagi wanita muslimah dalam pandangan ulama fiqih? berikut penjelasan lengkapnya

Aurat Yang Benar Bagi Wanita Muslimah Dalam Perspektif Fiqih Ahlussunnah Wal Jama’ah

Bila merujuk pada arus utama Mazhab Syafi’i yang diamalkan masyarakat Indonesia, maka semestinya seluruh tubuh perempuan adalah aurat yang haram dilihat laki-laki bukan mahram kecuali wajah kedua telapak tangan. 

Kenapa keduanya dikecualikan? Pertama, karena nash Surat Al-Ahzab ayat 31 yang kemudian ditafsirkan oleh Ibnu Abbas RA bahwa yang dikecualikan dalam ayat adalah wajah dan kedua telapak tangan. Kedua, berdasarkan larangan Nabi Muhammad SAW terhadap perempuan yang sedang ihram dalam memakai sarung tangan dan niqab penutup wajah, yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Ibnu Umar RA. Andaikan wajah dan telapak tangan perempuan adalah aurat, tentu Nabi Muhammad SAW tidak melarangnya untuk ditutupi.

Ketiga, karena membuka wajah perempuan diperlukan dalam seperti jual beli. Demikian pula kedua telapak tangan dibutuhkan untuk mengambil dan memberikan sesuatu dalam berbagai kegiatan keseharian. (Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf As-Syirazi, Al-Muhaddzab fi Fiqhil Imamis Syafi’I, [Beirut, Darul Qalam dan Darus Syamiyyah: 1412 H/1992 M], cetakan pertama, juz I, halaman 219-220).

Hukum Memakai Jilbab Bagi Wanita Muslimah

Telah menjadi suatu ijma’ bagi kaum Muslimin di semua negara dan di setiap masa pada semua golongan fuqaha, ulama, ahli-ahli hadits dan ahli tasawuf, bahwa rambut wanita itu termasuk perhiasan yang wajib ditutup, tidak boleh dibuka di hadapan orang yang bukan muhrimnya.
Adapun sanad dan dalil dari ijma’ tersebut ialah ayat al-Qur’an:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman; Hendaklah mereka menahan pandangannya, memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, …” (QS. an-Nûr: 31).
Maka, berdasarkan ayat di atas, Allah SWT telah melarang bagi wanita Mukminat untuk memperlihatkan perhiasannya. Kecuali yang lahir (biasa tampak). Diantara para ulama, baik dahulu maupun sekarang, tidak ada yang mengatakan bahwa rambut wanita itu termasuk hal-hal yang lahir; bahkan ulama-ulama yang berpandangan luas, hal itu digolongkan perhiasan yang tidak tampak.
Dalam tafsirnya, al-Qurthubi mengatakan, “Allah SWT telah melarang kepada kaum wanita, agar dia tidak menampakkan perhiasannya (keindahannya), kecuali kepada orang-orang tertentu; atau perhiasan yang biasa tampak.”
Ibnu Mas’ud berkata, “Perhiasan yang lahir (biasa tampak) ialah pakaian.” Ditambahkan oleh Ibnu Jubair, “Wajah” Ditambah pula oleh Sa’id Ibnu Jubair dan al-Auzai, “Wajah, kedua tangan dan pakaian.”
Ibnu Abbas, Qatadah dan al-Masuri Ibnu Makhramah berkata, “Perhiasan (keindahan) yang lahir itu ialah celak, perhiasan dan cincin termasuk dibolehkan (mubah).”
Ibnu Atiyah berkata, “Yang jelas bagi saya ialah yang sesuai dengan arti ayat tersebut, bahwa wanita diperintahkan untuk tidak menampakkan dirinya dalam keadaan berhias yang indah dan supaya berusaha menutupi hal itu. Perkecualian pada bagian-bagian yang kiranya berat untuk menutupinya, karena darurat dan sukar, misalnya wajah dan tangan.”
Berkata al-Qurthubi, “Pandangan Ibnu Atiyah tersebut baik sekali, karena biasanya wajah dan kedua tangan itu tampak di waktu biasa dan ketika melakukan amal ibadat, misalnya salat, ibadat haji dan sebagainya.”
Hal yang demikian ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah r.a. bahwa ketika Asma’ binti Abu Bakar r.a. bertemu dengan Rasulullah SAW, ketika itu Asma’ sedang mengenakan pakaian tipis, lalu Rasulullah SAW memalingkan muka seraya bersabda:
“Wahai Asma’! Sesungguhnya, jika seorang wanita sudah sampai masa haid, maka tidak layak lagi bagi dirinya menampakkannya, kecuali ini …” (beliau mengisyaratkan pada muka dan tangannya).
Dengan demikian, sabda Rasulullah SAW itu menunjukkan bahwa rambut wanita tidak termasuk perhiasan yang boleh ditampakkan, kecuali wajah dan tangan.
Allah SWT telah memerintahkan bagi kaum wanita Mukmin, dalam ayat di atas, untuk menutup tempat-tempat yang biasanya terbuka di bagian dada. Arti al-Khimar itu ialah kain untuk menutup kepala, sebagaimana surban bagi laki-laki, sebagaimana keterangan para ulama dan ahli tafsir. Hal ini (hadits yang menganjurkan menutup kepala) tidak terdapat pada hadits manapun.
Al-Qurthubi berkata, “Sebab turunnya ayat tersebut ialah bahwa pada masa itu kaum wanita jika menutup kepala dengan akhmirah (kerudung), maka kerudung itu ditarik ke belakang, sehingga dada, leher dan telinganya tidak tertutup. Maka, Allah SWT memerintahkan untuk menutup bagian mukanya, yaitu dada dan lainnya.”
Dalam riwayat al-Bukhari, bahwa Aisyah r.a. telah berkata, “Mudah-mudahan wanita yang berhijrah itu dirahmati Allah.”
Ketika turun ayat tersebut, mereka segera merobek pakaiannya untuk menutupi apa yang terbuka.
Ketika Aisyah r.a. didatangi oleh Hafsah, kemenakannya, anak dari saudaranya yang bernama Abdurrahman r.a. dengan memakai kerudung (khamirah) yang tipis di bagian lehernya, Aisyah r.a. lalu berkata, “Ini amat tipis, tidak dapat menutupinya.”

Telapak Kaki Wanita Apakah Termasuk Aurat?

telapak kaki dalam Mazhab Syafi’ terdapat pendapat—As-Syafi’i atau ashabnya—yang dihikayatkan ulama Khurasan yang membolehkan terbukanya bagian dalam telapak kaki atau bathin qadamain. Demikian pula Al-Muzani (175-264 H/791-878 M) murid langsung Imam As-Syafi’i, menegaskan bahwa kedua telapak kaki atau qadamani bukan merupakan aurat perempuan sehingga boleh terbuka. Imam An-Nawawi menjelaskan:

وَحَكَى الْخُرَاسَانِيُّونَ قَوْلًا وَبَعْضُهُمْ يَحْكِيهِ وَجْهًا أَنَّ بَاطِنَ قَدَمَيْهَا لَيْسَ بِعَوْرَةٍ. وَقَالَ الْمُزَنِيُّ الْقَدَمَانِ لَيْسَا بِعَوْرَةٍ

Artinya, “Ulama Syafi’iyah kota Khurasan menghikayatkan pendapat as-Syafi’i—dan sebagian ulama menghikayatkannya sebagai pendapat ashabnya—bahwa bagian dalam kedua telap[ak kaki perempuan merdeka bukan aurat. Sementara al-Muzani menyatakan: ‘Kedua telapak kaki—bagian dalam maupun bagian luarnya—bukan merupakan aurat’.” (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab, [Jeddah, Maktabah Al-Irsyad: tth], juz III, halaman 174).

Pendapat serupa juga dikemukakan Abu Hanifah melalui riwayat muridnya Al-Hasan bin Ziyad Al-Lu’lu’i (w. 204 H/819 M) berikut ini:

وَرَوَى الْحَسَنُ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: أَنَّهُ يَجُوزُ النَّظَرُ إِلَى قَدَمِهَا أَيْضًا، لِأَنَّهَا تَحْتَاجُ إِلَى إِبْدَاءِ قَدَمِهَا إِذَا مَشَتْ حَافِيَةً أَوْ مُتَنَعِّلَةً، فَإِنَّهَا لَا تَجِدُ الْخُفَّ فِي كُلِّ وَقْتٍ

Artinya, “Al-Hasan bin Ziyad meriwayatkan dari Abu Hanifah RA, bahwa (laki-laki) boleh melihat telapak kaki perempuan merdeka bukan mahram, sebab perempuan itu perlu membuka telapak kakinya ketika berjalan dengan kaki telanjang atau memakai sandal. Sebab, ia tidak pasti menemukan khuff (semacam kaus kaki) setiap waktu,” (Burhanuddin Al-Bukhari, Al-Bahrul Muhith fil Fiqhin Nu’mani, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1424 H/2004 M], cetakan pertama, juz V, halaman 334).

Selain itu, juga terdapat pendapat Mazhab Hanafi yang membolehkan laki-laki melihat betis perempuan terbuka. Al-Fatawa Al-Hindiyyah atau yang terkenal dengan Al-Fatawa Al-‘Alamkariyah, himpunan fatwa Mazhab Hanafi yang disusun oleh 500 ulama Hanafiyah dari Asia Selatan, Irak dan Hijaz pimpinan Syekh Nizhamuddin Burhanpuri atas perintah Raja India keturunan Timurlenk, Muhammad Aurangzeb Alamgir (1027-1118 H/1619-1707 M), menjelaskan:

قِيلَ: وَكَذَلِكَ يُبَاحُ النَّظَرُ إلَى سَاقِهَا إذَا لم يَكُنْ النَّظَرُ عن شَهْوَةٍ

Artinya, “Dikatakan, ‘Demikian pula boleh melihat betis perempuan merdeka bila melihatnya tidak berangkat dari dorongan syahwat,’” (Nizham dkk, Al-Fatawa Al-Hindiyyah, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1421 H/2000 M], cetakan pertama, juz V, halaman 406).

Dengan demikian, untuk permasalahan terbukanya kaki perempuan sampai sebatas betis, dalam fiqih empat mazhab ada pendapat yang dapat mengakomodasinya. Demikian pula bagi laki-laki yang kebetulan melihatnya hukumnya diperbolehkan, selama tidak berangkat dari dorongan nafsu syahwatnya.

Hukum Wanita Muslimah Memakai Pakaian Ketat

Gaya dan mode pakaian dewasa ini menjamur hingga mempengaruhi gaya berpakaian wanita muslimah. Mulai dari celana legging yang ketat sehingga membentuk (maaf) underwear hingga kaos transparan yang jelas-jelas menunjukkan ukuran bra seseorang. Parahnya, di atas kepala menutup rambutnya ada sehelai kain yang dililitkan ke leher sehingga seringkali kalung dan anting-antingnya terlihat.

Pertanyaan : Bagaimana hukumnya berpakaian ketat bagi seorang perempuan?

Jawab : Hukumnya haram, karena bisa menimbulkan fitnah, kecuali dihadapan suaminya atau mahramnya saja. Dasar Hukum :

Lihat Al-Fatawa Hal 918 :

وعبارته: سؤال, ماحكم ملابس الضيقة عند النساء وعند المحارم؟

الفتوي: لبس الملابس الضيقة التي تباين مفاتن المرأة و تبرز ما فيه الفتنة محرم لان النبي صلي الله عليه وسلم قال: صفان من اهل النار لم ارهما بعد رجال معهم سياط كاذناب البقر يضربون بها الناس _ يعني ظلما وعدوانا_ ونساء كاسيات عاريات مائلات مميلات: فقد فسر قوله كاسيات عاريات بأنهن يلبسن اللبسة قصيرة لا تستر مايجب ستره من العورة وفسر بأنهن يلبسن اللبسة تكون خفيفة لاتمنع من رؤية ما ورائها من بشرة المرآة وفسرة بأن يلبسن ملابس ضيقة فهي ساترة عن الرؤية لكنها مبدية لمفاتر المرآة وعلي هذا فلايجوز للمرآة أن تلبس هذه الملابس الضيقة الا لمن يجوز لها ابداء عورتها عندخ وهو الزوج فإنه ليس بين الزوج والزوجته عورة: لقوله تعالي والذين هم لفروجهم حافظيون إلا علي أزواجهم او ما ملكت ايمانهم فإنهم غير ملوين

Penutup

Dari penjabaran tentang batasan aurat bagi wanita muslimah dalam pandangan ulama fiqih, bisa kita fahami, bahwa batasan aurat bagi wanita muslimah dalam pandangan ulama fiqih adalah seluruh tubuh selain wajah dan telapak tangan. aurat harus ditutup dengan bahan yang tidak menampakkan lekuk tubuh wanita. wallahu a’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *