Terjemah Kitab Hujjah Ahlussunnah Wal Jamaah, Persoalan Ke-8, Berziarah Kepada Rosulullah SAW dan Beratnya Perjalanan Kepadanya

 

Persoalan Kedelapan,

Ziarah Rosulullah SAW dan Beratnya Perjalanan Kepadanya

Al-Qodhi Iyadh berkata dalam kitabnya, yaitu Kitab Asy-Syifa bi Ta’rifi Huquqil Mushthofa, “Berziarah ke makam Rosulullah SAW termasuk kesunatan kaum muslim yang telah disepakati dan memiliki fadhilah yang dianjurkan di dalamnya”,

Kemudian beliau meriwayatkan dengan sanadnya yang sambung dari Sahabat Ibnu Umar ra, berkata, Rosulullah SAW bersabda :

مَنْ زَارَنِيْ فِى الْمَدِيْنَةِ مُحْتَسِبًا كَانَ فِيْ جِوَارِيْ وَكُنْتُ شَفِيْعًا لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa yang berziarah kepadaku di Kota Madinah semata-mata untuk mencari ridlo Allah, maka dia ada di dalam perlindunganku dan aku pemberi syafa’at baginya pada hari kiamat”.

Dalam hadist lain :

مَنْ زَارَنِيْ بَعْدَ مَمَاتِيْ فَكَأَنَّمَا زَارَنِيْ فِيْ حَيَاتِيْ

“Barang siapa yang berziarah kepadaku sesudah aku meninggal dunia, maka dia seperti berziarah kepadaku di waktu hidupku”.

Tambahan (dari KH. Ahmad Subki Masyhudi, penambah keterangan dalam kitab ini) : Rosulullah SAW bersabda,

الْمَدِيْنَةُ فِيْهَا قَبْرِيْ وَبِهَا بَيْتِيْ وَتُرْبَتِيْ وَحَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ زِيَارَتُهَا

“Kota Madinah di dalamnya adalah kuburku, rumahku, tanahku, dan hak bagi setiap muslim untuk menziarahinya (Kota Madinah)”. [Hadist dikeluarkan oleh Imam Thobroni].

Nabi SAW bersada :

مَنْ زَارَ قَبْرِيْ وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِيْ

“Barang siapa yang menziarahi kuburku, maka wajib baginya syafa’atku”.

Seorang penyair berkata :

“Barang siapa yang berziarah makam Nabi Muhammad – Maka dia akan memperoleh syafa’at pada hari esok.

Atas pertolongan Allah, diulang-ulangi menyebut nama beliau – Dan hadistnya, wahai pujaanku.

Jadikan sholawatmu selama-lamanya – Dengan suara lantang kepada beliau, maka kamu akan memperoleh petunjuk.

Maka beliau adalah seorang utusan yang terpilih – Yang memiliki kedermawaan dan kecukupan yang didermawannkan.

Dan beliau adalah yang memberikan syafa’at kepada makhluk – dari kesulitan pada hari yang dijanjikan.

Semoga Tuhan kami memberikan rohmat kepada beliau – selama bintang kutub utara masih bersinar.”.

Kemudian Syekh (KH. Ali Maksum, Penulis Kitab Hujjah ASWAJA) berkata : dan dalam fasal yang menguatkannya di dalam kekhususan Nabi SAW dengan tersampaikannya sholawat seseorang dari semua manusia yang membaca sholawat kepada beliau atau bacaan salam, yaitu hadist yang diriwayatkan dari Sahabat Abu Hurairah ra, berkata, Rosulullah SAW bersabda :

مَنْ صَلَّى عَلَيَّ عِنْدَ قَبْرِيْ سَمِعْتُهُ، وَمَنْ صَلَّى نَائِبًا بُلِّغْتُهُ

“Barang siapa membaca sholawat kepadaku di sisi kuburku, maka aku mendengarnya. Dan barang siapa yang membaca sholawat dari tempat yang jauh, maka hal itu akan tersampaikan padaku”.

Dan dari Sahabat Ibnu Mas’ud, Nabi SAW bersabda :

اِنَّ لِلّٰهِ مَلَائِكَةً سَيَّاحِيْنَ يُبَلِّغُوْنِيْ عَنْ اُمَّتِى السَّلَامَ

“Sesungguhnya Allah memiliki Malaikat Sayyahin (malaikat yang melalang buana mengelilingi jagat), yang mana mereka menyampaikan kepadaku bacaan salam dari umatku”. Kurang lebih seperti itulah hadistnya.

Dari Sahabat Abu Hurairah, dari Sahabat Ibnu Umar, ra :

اَنَّ اَحَدًا لَا يُصَلِّى عَلَيَّ اِلَّا عُرِضَتْ صَلَاتُهُ عَلَيَّ حِيْنَ يَفْرُغُ مِنْهَا

“Sesungguhnya tidaklah seseorang membaca sholawat kepadaku kecuali akan ditampakkan bacaan sholawat itu kepadaku ketika dia selesai membacanya”.

Maka Ya Allah limpahkanlah rohmat kepada tuan dan pemberi syafaat kami, Rosulullah, dengan keluhuran rohmat yang Engkau ridloi, diridloi oleh beliau, dan kami pun turut ridlo atas rohmat itu, wahai Tuhan Semesta Alam.

Tambahan (dari KH. Ahmad Subki Masyhudi, penambah keterangan dalam kitab ini) : Imam Bukhari meriwayatkan :

مَنْ صَلَّى عَلَيَّ عِنْدَ قَبْرِيْ وَكَّلَ اللّٰهُ بِهَا مَلَكًا يَبْلُغُنِيْ وَكُفِيَ اَمْرَ دُنْيَاهُ وَاٰخِرَتَهُ وَكُنْتُ لَهُ شَفِيْعًا اَوْ شَهِيْدًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa membaca sholawat kepadaku di sisi kuburku, maka Allah mewakilkan atas bacaan  sholawat itu kepada malaikat yang akan dia sampaikan kepadaku, dia dicukupi urusan dunia dan urusan akhiratnya, dan aku akan menjadi penolong atau saksi baginya pada hari kiamat”.

Akan tetapi di sana ada segelintir manusia, dan mereka adalah orang-orang yang mana telah mengisahkan kepada kita tentang larangan berziarah kubur, mereka juga melarang berziarah kepada (makam) Rosulullah SAW, mereka mengarang beberapa karangan tentang masalah ini, dan mengeluarkan fatwa-fatwa yang berfahamkan ahlul islam bahwa memberatkan perjalanan untuk berziarah kepada Rosulullah SAW tidaklah diperbolehkan. Adapun jika seorang mukmin memberatkan perjalanannya untuk berziarah ke masjid Rosulullah SAW untuk melaksanakan sholat di dalamnya maka hal itu diperbolehkan. Satu dalil yang mereka menjadikannya di dalam setiap karangan mereka, yaitu sabda Rosulullah SAW :

لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ اِلَّا اِلٰى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ : الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِيْ هٰذَا وَالْمَسْجِدِ الْاَقْصٰى

“Tidak diperbolehkan memberatkan perjalanan kecuali pada tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, masjidku ini (Masjid Nabawi), dan Masjidil Aqsha”. [HR. Imam Syaikhoni, yaitu Imam Bukhari dan Imam Muslim, dan lainnya].

Imam Ghozali berkata dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin, di bawah judul, “Fadhilatil Madinatil Munawwaroti ala Sairil Biladi – Keutamaan Kota Madinah Al-Munawwaroh melebihi semua kota”. (yaitu sebagai berikut ini 🙂

Sebagian ulama’ telah berpendapat untuk menjadikan dalil dengan hadist ini [Tidak diperbolehkan memberatkan perjalanan kecuali pada tiga masjid] di dalam melarang perjalanan untuk berziarah ke makam-makam, kubur ulama’, dan (kubur) orang-orang yang sholeh, dan apapun yang telah jelas bagiku bahwa perkara memang seperti itu (dilarang), padahal berziarah diperintahkan, Rosulullah SAW bersabda :

كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا وَلَا تَقُوْلُوْا هُجْرًا

“Aku telah melarang kalian berziarah kubur, maka berziarah kuburlah dan jangan kalian berkata kotor”.

Hadits itu (3 masjid) memang berkaitan dengan masalah masjid-masjid, tetapi maknanya tidaklah tentang makam-makam, karena sesungguhnya masjid selain 3 masjid itu (sesuai hadist di atas) memiliki derajat yang sama. Dan tidaklah dalam sebuah negara kecuali ada masjid di dalamnya, maka tidak ada makna untuk melakukan perjalanan ke masjid lain (selain 3 masjid itu).  Adapun makam-makam (semua makam di dunia), maka tidak memiliki kesamaan, tetapi berkah berziarah ke makam tergantung pada derajat orang-orang yang dimakamkan di sisi Allah yang Maha Luhur lagi Maha Agung.

Kemudian (KH. Ali Maksum, Penulis Kitab Hujjah ASWAJA) berkata : Seandainya anggapanku adalah apakah orang yang mengatakan ini juga melarang memberatkan perjalanan ke makam-makam para nabi as, seperti Nabi Ibrahim.

Maka larangan itu di dalam ujung keadaan (mustahil). Nah, jika hal itu (berziarah ke makam para nabi) saja diperbolehkan, maka berziarah ke makam-makam para wali, ulama’, dan orang-orang yang sholeh juga memiliki makna yang sama (diperbolehkan), karena tidak jauh (berbeda) hal itu juga merupakan tujuan perjalanan sebagaimana mengunjungi ulama’ dari waktu mereka hidup juga merupakan tujuan.

Dan sungguh aku heran seheran-herannya bahwa seorang yang memiliki akal dapat memahami larangan menziarahi Rosulullah SAW dari hadist ini (hadist la tusyaddur rihal di atas) bersamaan dengan pemahaman tentang kebolehan memberatkan perjalanan ke Kota Madinah Al-Munawwaroh (yang bercahaya) berkat cahaya-cahaya Nabi SAW untuk melaksanakan sholat di dalam masjid Nabi SAW. Dan sungguh aku heran seheran-herannya dari pemahaman itu kerena sesungguhnya Kota Madinah Al-Munawwaroh (yang bercahaya) berkat cahaya-cahaya Nabi SAW merupakan kota yang tidak memiliki nilai di antara kota-kota lainnya sebelum hijrah Nabi SAW (artinya, Kota Madinah menjadi kota yang bernilai berfadhilah karena hijrah Nabi SAW). Dan masjid ini (Masjid Nabawi) adalah masjid Nabi SAW, jika tidak disandarkan kepada Nabi SAW maka masjid itu seperti semua masjid-masjid, tidak memiliki keutamaan baginya melebihi masjid-masjid lain di dunia.

Masjid (Nabawi) memiliki keagungan ini dan menjadikan sholat di dalamnya seperti 1000 sholat di masjid-masjid selainnya karena masjid (Nabawi) adalah masjid yang dipilih oleh Nabi SAW, masjid yang dibangun oleh Nabi SAW, masjid yang mana Nabi SAW memuliakannya dengan melaksanakan sholat di dalamnya, masjid yang di dalamnya mengalir rohmat dan berkah-berkah disebabkan pribadi Nabi SAW bertempat di masjid itu. Jika demikian, apakah logis jika dikatakan “Sesungguhnya masjid ini (Masjid Nabawi) memiliki berkah-berkah yang kembali kepada orang yang mengunjunginya, oleh sebab itu maka boleh memberatkan ziarah kepadanya. Sedangkan Rosulullah yang mana masjid ini menjadi agung karena dinisbatkan kepada Beliau, maka tidaklah memiliki berkah yang kembali kepada orang yang berziarah kepada Beliau, maka dari itulah tidak diperbolehkan memberatkan perjalanan untuk berziarah kepada Beliau” ?. Sesungguhnya ini merupakan perkataan orang-orang gila yang tidak sadar apa yang mereka katakan, atau perkataan musuh islam dan musuh rosul islam (musuh Rosulullah SAW).

Adapun orang mukmin yang memiliki bagian dari akal sehat maka tidak mungkin tersirat di hatinya makna yang lemah ini.

Hadist yang disandarkan oleh orang-orang yang menginginkan untuk menghalangi hubungan antara Nabi SAW dan antara umat Nabi SAW di satu sisi (makna) dan mereka tidak akan pergi di sisi yang lain, maka sesungguhnya hadist itu berbicara tentang masjid-masjid secara khususnya (yaitu keutamaan 3 masjid melebihi masjid lainnya seperti di atas, itu saja, bukan berbicara tentang larangan ziarah kepada Nabi SAW).

Hadist itu (seolah) mengatakan kepada manusia : “Kalian adalah orang-orang yang berakal sehat, maka wajib menjaga amal-amal kalian dari perbuatan sia-sia yang tidak memiliki faedah di dalamnya, aku berwasiat kepada kalian agar kalian tidak bepergian dan menanggung susah payah dan kesulitan perjalanan hanya untuk melakukan sholat di salah satu masjid di dunia (kecuali 3 masjid di atas), dengan memahami bahwa tidak ada keutamaan di dalamnya melebihi masjid lainnya, maka jangan melakukan hal itu karena kalian akan bersusah payah di dalam perjalanan kalian tanpa faedah yang kembali kepada kalian. Ini dikarenakan semua masjid-masjid memiliki nilai yang sama, tidak ada keutamaan bagi sebagian masjid dengan sebagian masjid lainnya. Namun jangan kalian fahami bahwa itu adalah secara umumnya, tetapi di dunia ada 3 masjid yang memiliki keistimewaan melebihi masjid-masjid lainnya, yaitu Masjidil Haram di Kota Mekkah, Masjid Nabawi di Kota Madinah, dan Masjidil Aqsha di Kota Syam (Yerussalem, Palestina). Hanya masjid-masjid ini saja, jika kalian memberatkan perjalanan maka tidak akan tersia-siakan susah payah kalian, tetapi akan kembali kepada kalian pahala karena dilipatkannya pahala melaksanakan sholat di dalamnya yang menjadikan sepadan susah payah kalian dan bertambahnya kesusahan itu”.

Ketiga masjid ini memiliki keistimewaan :

Karena Masjidil Haram diperintahkan (oleh Allh SWT) untuk membangunnya, kemudian Baginda kita, Nabi Ibrahim as, Sang Kekasih Tuhan yang Maha Pengasih, membangunnya. Dalam pembangunannya, Beliau dibantu oleh Baginda kita, Nabi Ismail as, yang kemudian masjid itu berada di samping Baitullah Al-Haram (Ka’bah) sebagai qiblat seluruh alam. Karena itulah, bangunan (Masjidil Haram) dan Bangunan di sampingnya yang luhur ini (Ka’bah) memperoleh kemuliaan, sekiranya Allah SWT menjadikan pahala mengerjakan sholat di dalamnya dengan pahala 100.000 sholat di masjid-masjid selainnya.

Adapun Masjid Nabi SAW (Masjid Nabawi), maka keagungannya sudah kami jelaskan sebelumnya, kemudian Masjid Nabi SAW berada di samping rumah Nabi SAW. Dan seorang mukmin tidak akan ragu bahwa meskipun rumah Nabi SAW luhur kemuliaannya dan agung derajatnya, maka tidak akan pernah sampai melebihi rumah Tuhan semesta alam (Baitullah/Rumah Allah SWT/Ka’bah). Karena inilah, melaksanakan sholat di dalam Masjid Nabi SAW pahalanya sama dengan melaksanakan 1000 sholat di masjid selainnya agar menunjukkan isyarat tentang perbedaan besarnya pahala kepada perbedaan kemuliaan yang ada di sampingnya. (Maksudnya, Masjidil Haram menjadi ikut termuliakan karena berada di samping rumah Allah SWT atau Baitullah, begitu pula Masjid Nabawi ikut termuliakan karena berada di samping rumah Nabi SAW).

Adapun Masjidil Aqsha, maka dibangun oleh Baginda kita, Nabi Ya’qub as setelah kakek Beliau yaitu Baginda kita, Nabi Ibrahim as, membangun Masjidil Haram dalam selisih waktu 40 tahun seperti yang sudah dijelaskan dalam hadist. Kemudian, masjid ini menjadi tempat sholat bagi para nabi Bani Israil as. Dan Masjidil Aqsha berada di samping rumah dan taman-taman para nabi Bani Israil, setelah mereka berpindah pada Teman yang luhur (wafat). Tidaklah samar lagi Masjidil Haram berdampingan dengan para nabi, meskipun derajat keluhurannya begitu besar tetapi tidak akan sampai melebihi derajat mulia yang ada di samping Nabi SAW (Masjid Nabawi), Karena inilah, melaksanakan sholat di dalam Masjidil Aqsha seperti melaksanakan 500 sholat di masjid selainnya, seperti halnya telah sampai penguatan ini di dalam masing-masing di dalam hadist, yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi di dalam Kitab Syu’abul Iman.

Tambahan (dari KH. Ahmad Subki Masyhudi, penambah keterangan dalam kitab ini) : Rosulullah SAW bersabda :

الصَّلَاةُ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ بِمَائَةِ اَلْفِ صَلَاةٍ وَالصَّلَاةُ فِي مَسْجِدِيْ بِاَلْفِ صَلَاةٍ وَالصَّلَاةُ فِي الْبَيْتِ الْمَقْدَسِ بِخَمْسِمِائَةِ صَلَاةٍ – رواه الطبرانِي

“Sholat di dalam Masjidil Haram seperti melaksanakan 100.000 sholat, sholat di dalam masjidku (Masjid Nabawi) seperti melaksanakan 1000 sholat, dan sholat di dalam Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha) seperti melaksanakan 500 sholat” (HR. Imam Thobroni).

Kemudian Syekh (KH. Ali Maksum, Penulis Kitab Hujjah ASWAJA) berkata : Ini merupakan hal yang harus mampu dipahami oleh manusia terkait rahasia perbedaan di antara 3 masjid-masjid ini dan di antara masjid lainnya, serta masalah perbedaan pahala di dalamnya.

Nah, mari kita kembali kepada pendapat orang-orang yang melarang berziarah kepada Nabi SAW, maka kita bisa mengatakan, jika kita memahami bahwa larangan tentang memberatkan perjalanan yang didasarkan pada hadist tersebut (hadist la tusyaddur rihal di atas) adalah hadist yang umum digunakan di dalam setiap perjalanan kecuali 3 masjid ini, maka pastilah :

1. Kita tidak diperbolehkan bepergian di dalam bumi dalam rangka i’tibar (mengambil pelajaran) dan nasehat, sedangkan Tuhan yang Maha Mulia lagi Maha Agung telah memerintah kita dengan melakukan perjalanan ini di dalam kitab-Nya, serta menganjurkan kita (untuk melakukannya) di ayat lain dari kitab-Nya.

2. Kita tidak boleh bepergian untuk melakukan silaturrahim kepada kerabat-kerabat kita jika mereka berada di daerah-daerah yang jauh, sedangkan Tuhan kita telah memerintahkan hal ini dan sangat menganjurkan kepada kita untuk melakukannya, Dia memberikan janji kepada orang yang melakukannya dengan menyambung rahmat-Nya serta memberikan peringatan kepada orang yang merusak silaturrahim dengan memutuskan rahmat-Nya.

3. Kita tidak boleh bepergian untuk melakukan jihad, menyampaikan syiar syariat, dan memberikan putusan di antara manusia dengan adil

4. Kita tidak diperbolehkan bepergian untuk berdagang dan ke tempat-tempat yang dituju terkait urusan-urusan dunia di manapun daerah-daerah yang ada di bumi.

5. Tidak diperbolehkan memberatkan perjalanan menziarahi Nabi SAW di waktu hidup Beliau. Padahal, banyak orang datang dari pelosok bumi untuk menemui Nabi SAW, mereka tidak terdorong melakukan hal itu kecuali karena rasa cinta untuk menemui dan mengunjungi Nabi SAW, serta mengambil berkah atas wujud dari kehadiran manusia yang mulia, sedangkan Nabi SAW mengetahui ini dan menetapkannya (tidak melarang), justru Nabi SAW menganjurkan melakukannya dengan janji memberikan pahala bagi orang-orang berupa ganjaran-ganjaran yang diberikan kepada mereka. Saat ini Nabi SAW berada di dalam taman yang mulia (telah wafat), seperti halnya Nabi SAW hidup dalam kesempurnaan (saat ini). Maka saat ini menziarahi Nabi SAW tidak berbeda dari mengunjungi sebelum Nabi SAW wafat, selamanya. Bahkan Nabi SAW menegaskan hal itu dalam sabda Beliau :

مَنْ حَجَّ فَزَارَ قَبْرِيْ بَعْدَ وَفَاتِيْ فَكَاَنَّمَا زَارَنِيْ فِيْ حَيَاتِيْ

“Barang siapa menunaikan haji, kemudian menziarahi kuburku setelah wafatku, maka dia seperti mengunjungiku di waktu hidupku” – Diriwayatkan oleh Imam Thabrani dalam kitab sunannya, Imam Baikhaqi, Imam Ibnu Asakir, Imam Thabrani di dalam Kitab Mu’jamul Kabir dan Mu’jamul Ausath.

6. Jika demikian, maka tetaplah (jelaslah) ulama’ islam, mulai awal umat ini sampai hari ini, berada dalam kesalahan yang besar, sekiranya mereka telah meyakini di dalam kitab-kitab agama mereka tentang bab-bab dan fasal-fasal yang di dalamnya menjelaskan ziarah Nabi SAW dan hal-hal yang terkait dengan ziarah Nabi SAW baik berupa anjuran maupun adab yang selayaknya dijaga di dalam melakukan ziarah Nabi SAW.

Dan sesungguhnya aku (KH. Ali Maksum, Penulis Kitab Hujjah ASWAJA) … atas julukan “Kyai” yang aku sandang, aku memerintahkan dan bersikeras di dalam perkara setiap mukmin untuk memberatkan perjalanan untuk melakukan ziarah Nabi SAW. Dan (dasar) bagi setiap mukmin atas hal itu adalah apa yang disabdakan oleh Nabi SAW :

مَنْ زَارَ قَبْرِيْ وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِيْ

“Barang siapa menziarahi kuburku, maka wajib baginya syafa’atku” (HR. Imam Daruquthni, Imam Baihaqi, dan lainnya)

Nabi SAW bersabda :

مَنْ جَاءَنِيْ زَائِرًا لَا يَحْمِلُهُ حَاجَةٌ اِلَّا زِيَارَتِيْ كَانَ حَقًّا اَنْ اَكُوْنَ لَهُ شَفِيْعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa mendatangiku sebagai penziarah, tidak didorong olehnya sebuah hajat kecuali menziarahiku, maka telah hak (pasti) bahwa aku akan menjadi pemberi syafaat baginya di hari kiamat” (HR. Imam Thabrani di dalam Kitab Mu’jamul Kabir, Imam Daruquthni di dalam Kitab Amalihnya, Imam Muqri di dalam Kitab Mu’jamnya, dan lain-lain).

Nabi SAW bersabda :

مَنْ زَارَنِيْ مُتَعَمِّدًا كَانَ فِيْ جِوَارِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa menziarahiku secara sengaja, maka dia ada di sampingku di hari kiamat” (HR. Imam Aqili, dan lainnya).

Hadist-hadist itu merupakan sesuatu yang tidak didengar oleh seorang mukmin, dan menjadikan hati tentram baginya sehingga ia ingin mendapatkan kemuliaan dengan sowan di hadapan Nabi SAW.

Apakah aku sudah gila sehingga perintahku dikeluarkan kepada kaum mukmin untuk tidak menziarahi rosul mereka, orang yang menguasai nikmat mereka (menjadikan mereka mendapatkan nikmat) yang mana bagi Beliau di leher setiap mukmin adalah anugerah yang mustahil untuk tetap disyukuri, orang yang mampu mencukupi seseorang (umat beliau) dengan mengeluarkannya dari neraka abadi menuju kenikmatan abadi ?.

Sesungguhnya orang yang memerintahkan untuk tidak menziarahi Sayyidul Wujud (tuan semua hal yang wujud) dan Shofwatul Kholqi (makhluk yang bersih) [maksudnya adalah Nabi SAW], dia tidak mengerti bahwa apa yang dia lakukan bisa menghalangi antara hamba-hamba Allah dan rohmat Allah karena sesungguhnya Nabi SAW adalah rohmat bagi seluruh alam. Maka hendaknya orang-orang yang melarang ziarah Nabi SAW itu mengerti tentang hal itu, agar mereka mengetahui di mana tempat mereka berdiam diri.

Dan sungguh aku (KH. Ali Maksum, Penulis Kitab Hujjah ASWAJA) senang jika pembaca mukmin bisa mengetahui bahwa kesepakatan ulama’ mengenai tuntutan menziarahi Nabi SAW merupakan tuntutan kuat (sangat dianjurkan), yang mana tuntutan itu tidak dibedakan dalam menziarahi Nabi SAW, tidak orang alim, tidak orang bodoh, tidak orang kulit hitam, tidak orang kulit putih, tidak pria, tidak pula wanita, bahkan sebagian penunjuk umat (para ulama’) menjelaskan bahwa hukum ziarah Nabi SAW ini adalah wajib sebagai bentuk pelarian dari sifat kasar yang mana Nabi SAW pernah menyinggungnya untuk orang yang tidak mau menziarahi Beliau. Nabi SAW bersabda di dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Najar :

مَنْ لَمْ يَزُرْنِيْ فَقَدْ جَفَانِيْ

“Barang siapa yang tidak mau menziarahiku, maka dia telah benar-benar berbuat kasar kepadaku”.

Nabi SAW bersabda :

مَا مِنْ اَحَدٍ مِنْ اُمَّتِيْ لَهُ سَعَةٌ ثُمَّ لَمْ يَزُرْنِيْ فَلَيْسَ لَهُ عُذْرٌ

“Tidaklah seseorang dari umatku yang memiliki keluangan (baik dana, waktu, tenaga, dll) kemudian dia tidak menziarahiku, maka tidak ada alasan baginya”

Tambahan (dari KH. Ahmad Subki Masyhudi, penambah keterangan dalam kitab ini) : Rosulullah SAW bersabda :

مَنْ حَجَّ وَلَمْ يَزُرْنِيْ فَقَدْ جَفَانِيْ

“Barang siapa menunaikan ibadah haji dan dia tidak mau menziarahiku, maka dia telah benar-benar berbuat kasar kepadaku”.

Syekh (KH. Ali Maksum, Penulis Kitab Hujjah ASWAJA) berkata : Ini (hadist-hadist di atas) merupakan sesuatu yang bisa membuat takut orang-orang yang beriman. Ya, tidak ada manusia yang melihat dan mendengar seorang pun yang memperselisihkan permasalahan tuntutan berziarah kubur yang mulia ini sejak masa Nabi SAW sampai masa ini yang mana kita di dalamnya sekarang, kecuali orang ini, yaikni Ibnu Taimiyyah dan orang-orang yang tertipu dengan pendapatnya sejak masanya sampai hari ini, mereka adalah golongan yang bisa dihitung dengan jari-jari di antara umat yang begitu banyak, yang dihitung (dibandingkan) dengan ratusan juta umat. Ziarah ini dilakukan setelah menunaikan ibadah haji yang merupakan salah satu rukun islam.

Dan jika orang-orang yang melarang ziarah Nabi SAW itu mempunyai akal dan ide (pemikiran sehat), maka mereka pasti diam dari menggembor-gemborkan pertentangan ini. Mereka akan mengetahui hamba-hamba Allah yang Maha Luhur yang terhitung ribuan bahkan jutaan orang, yang mana mereka terdorong rindu yang menggelisahkan kepada Nabi SAW, mereka meninggalkan tanah air, orang-orang yang dicintai, dan harta mereka demi bersusah payah dalam perjalanan siang dan malam, mereka berdoa meminta-minta kepada Tuhan mereka agar dipanjangkan ajalnya untuk bisa sampai kepada Nabi SAW, ketika mereka sampai maka jangan tanya tentang sampainya sesuatu yang mereka dapatkan yaitu berupa kebahagiaan lalu kebahagiaan, karena sesungguhnya hal itu merupakan sesuatu yang hanya diketahui oleh orang alim yang mengetahui (orang alim yang mampu memahami kondisi dan perasaan orang-orang yang rindu bertemu Nabi SAW secara teliti). Dan barang siapa yang mampu membaca (memahami) ibrah tentang orang-orang yang rindu kepada makam Nabi SAW yang mulia, maka dia pasti mengetahui bahwa orang-orang mukmin berada dalam satu alam sedangkan mereka orang-orang yang melarang ziarah Nabi SAW berada di alam yang lain. (Selesai, dari Kitab Ghoutsul Ibad).

Kembali ke Awal Terjemah Hujjah Aswaja

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *